Aku pulang dengan perasaan berat. Aku sudah bertemu Aji tapi tak bertemu dengan perasaan yang sudah menggunung disini. Rasanya sesak sekali jika mengingat permintaan Aji di Kertapati, wajah kecewa Aji, serta perpisahan kami yang hambar. Sampai saat ini, seminggu setelah pertemuan kami di Kertapati, Aji masih belum menghubungiku. Lalu, apa artinya sekarang?
Aku masih harus melanjutkan hari meski dengan hati yang resah. Pekerjaan di kantor aku geluti dengan serius agar resah hati ini sedikit memudar di pikiran. Kemudian, di hari Minggu aku masih mengikuti klub menulis. Sudah ada anggota baru di klub menulis sekarang. Seorang pria seumuran denganku. Adri namanya. Wataknya mirip Aji, tak banyak bicara. Dia selalu mengingatkan aku pada Aji.
Nyatanya, aku sangat merindukan Aji.
"Kinara, kamu mau pulang sekarang?" Kai menghampiriku saat kami sudah bersiap pulang.
Aku mengangguk dengan senyum.
"Ayo aku antar."
"Ga usah, aku sudah pesan ojek online."
Kai hanya ber-oh tapi tak beranjak pergi.
"Kinara ... aku sudah putus dengan Jennie."
"Oh ya ?" Aku sebenarnya terkejut, namun otakku masih waras untuk pura-pura biasa saja mendengar ucapan Kai.
"Kamu ... masih dengan Aji?"
Pertanyaan Kai membuka ingatanku tentang perpisahan kami di Kertapati. Juga komunikasi kami yang terhenti. Apa Aji masih menganggap aku ada? Setelah pertanyaan Aji tentang menikah, aku tak mendapati Aji yang hangat lagi. Dia dipenuhi kecewa hanya karena ketidaksiapanku.
Aku hanya mengangguk tipis. Berharap memang masih ada tali asmara antara kami.
"Kamu bisa menjalani LDR dengan baik ternyata," puji Kai.
Aku tersenyum menutupi keresahan. Tak perlu banyak yang tahu kalau aku sedang menunggu Aji yang masih tak mengabari.
Malam harinya, aku tak berhenti menatap layar ponsel, berharap tiba-tiba ada kabar dari Aji. Tapi hingga mataku mengantuk tak ada kabar dari Aji.
Paginya aku akan menjalani hari dengan perasaan aneh, setelah semalam aku tak mendapat kabar dari Aji. Rutinitas ini berlangsung sebulan setelah pertemuan terakhir kami di Kertapati.
"Aji, apa benar kita sudah berakhir? Tapi setidaknya beri aku kepastian."
Aku terenyuh menatap satu-satunya foto yang aku punya. Foto terakhir kali kami video call, aku diam-diam memotretnya.
Kalau bisa, aku ingin pergi ke Kertapati lagi, menanyakan kejelasan hubungan kami. Apa masih berlanjut atau sudah berakhir.
Aku coba menekan tombol panggilan di kontak Aji. Aku tahu, aku memang agresif. Selalu saja maju lebih dulu untuk menanyakan kabar. Tapi aku berjanji kali ini yang terakhir. Jika tak ada jawaban dari Aji, aku pasrah tak akan mencari tahu lagi.
Lama nada dering berbunyi, tak ada jawaban. Aku putus asa. Aku menyerah.
Pagi yang cerah di hari Minggu, namun tidak untuk hatiku. Aku sudah semalaman menonton drama Korea agar bisa melupakan perasaanku yang digantung Aji. Aku memilih pergi ke klub menulis meski perasaanku sedang kacau.
Sachi sudah meminta kami datang ke taman yang paling sering kami kunjungi saat menulis. Taman yang punya banyak kenangan bersama Aji.