Melewati poros kehidupan yang kadang menukik, kadang menanjak, kadang merangkak, dan terkadang terjal. Keadaan yang tak pernah di sangka, yang tak pernah terpikir, yang menembus langit, yang menjuntai diantara reranting pohon. Semuanya mempunyai batas masa, mungkin. Dalam setiap pengandaian, selalu ada jawaban yang diterima, dan lagi-lagi bisa saja membuat hidup kian terpuruk.
Jelita mendapatkan kritikan pedas dari atasannya, surat peringatan pertama telah di bacanya yang diberikan oleh Yudha ke meja kerjanya. Ia tak begitu mengerti tentang hidup yang tak bisa selalu baik-baik saja, permasalahan, yang sebenarnya akan terus dihindari bagi setiap manusia, tak luput mampir di kehidupan setelah bahagia, ataupun malah masih dalam keadaan menderita. Keanehan yang merenggut pikirannya, kerja dengan totalitas, kesalahan hanya sesekali namun itu hanya ketika pembahasan konsep, tak pernah sekalipun Jelita ditentang oleh klien saat meeting, Apa mungkin ke perfeksionisitas dan ambisiusnya membuat sang atasan tak suka kepadanya, ia berpikir berulang kali pada kursi kantor yang bisa bergerak memutar dengan decitan kecil sesekali. Di luar jendela kaca kantornya, langit sudah hampir menggelap, rekan-rekannya pamit duluan dengan sapaan akrab, sapaan yang dijawabnya sepintas. Jelita lupa semenjak ia menjadi orang yang paling terbaik, ia jarang dikritik secara lugas, ia merasa tak pernah ada salah, tak pernah ada hal yang keliru dalam pekerjaannya. Masih dengan dagu sebagai penopangnya, sementara kedua tangan yang mengepal menjadi sandarannya, lamat-lamat, hingga pada akhirnya ia menghela nafas panjang, kemudian segera meneguk air putih yang tersisa di botol aquanya yang terletak di samping komputer tabung meja kerjanya. Beranjak dari kursi, mengambil tas yang tergeletak di samping komputer, Jelita pulang dengan linglung.
Sosok Ibu telah menunggu di sudut beranda rumah petak nan kecil, muka ibu gelisah, mondar-mandir, Jelita mempercepat langkahnya dari tepian jalan luar rumahnya.
“Ibu kenapa? Kok jam segini masih diluar?”
“Harusnya Ibu yang bertanya, tumbenan kamu pulang sampai jam segini, kan ngga biasanya kamu balik semalam ini.”
"Maaf bu, tadi ada urusan mendadak, jadinya Jelita pulang agak telat.”
“Beneran? Kamu ngga ada masalah kan di kantor? Firasat ibu soalnya ngga begitu enak sedari kamu berangkat kerja tadi.”
“Ngga papa kok Bu, benerann…”
"Jelita, kamu ngga bisa ngebohongin Ibu, sorot matamu menggambarkan kamu meminggul beban, coba ceritakan ke Ibu, siapa tahu Ibu bisa membantu permasalahanmu itu, tapi kamu mandi sama makan dulu ya, biar pikiranmu sedikit lebih tenang, wajahmu kusam diburu debu…”
“Yah ketauan deh hehe.” Jelita mengumbar senyum tertahan, karena bila menambah sedikit senyumnya lagi, ia bisa menurunkan air dari matanya, pelukan erat dilakukannya kepada Ibu, dan Ibu mengusap perlahan rambutnya.
“Ngga terasa ya, Jelita sekarang udah semakin dewasa, tinggimu pun sudah hampir menyamai tinggi Ibu…”
Jelita masuk ke dalam kamarnya, melemparkan tas ransel hitamnya, kemudian kembali keluar kamar, mengambil handuk di jemuran dekat tungku. Namun ia terkesiap mencium aroma yang sudah lama tak pernah ia rasakan, daging rendang yang mencuat dari kuah yang sedang dimasak, buih-buih yang meletup, membuatnya menelan ludah. Sesegera mungkin ia berlari ke kain hitam, mencantolkan handuk di sudut dinding, suara air bergemericik, mandi yang penuh semangat di malam hari. Sementara Lira masih tercogok di ruang tamu, dengan perut yang sudah berulang kali berbunyi keroncong, yang masih menunggu sang kakak siap untuk makan malam. Ibu hanya mengucapkan berulang kali kata “Sabar” ke Lira, ketika harus menunggu kakaknya pulang dari kerja sedari jam lima lewat seperempat.
*
Suram dalam kesangsian, Jelita kembali teringat pada permasalahannya di kantor, setelah rendang dan nasi hangat ditandaskan bersama keluarga kecilnya itu. Termangu di sudut ruang tamu memunggungi kursi, Lira sudah kembali ke kamarnya untuk menyelesaikan tugas kuliahnya dalam meresume materi. Sementara Ibunya baru kembali dari membereskan dan mencuci piring kotor, sang Ibu paham tentang keadaan anak sulungnya, kemudian mengusap kepala Jelita, lalu duduk di sebelah kiri Jelita yang beralaskan tikar lampit.
“Jadi gimana sekarang, udah mau cerita sama Ibu belom?”
“Jelita malu Bu, Jelita belom pernah sama sekali cerita hal yang seperti ini kepada Ibu,” Jelita memang masih sedikit canggung, bagaimana mungkin, permasalahan yang biasa ia alami tidak serumit seperti sekarang.
“Biasalah itu, beranjak dewasa kita akan mendapatkan kesulitan yang terkadang di luar nalar, oleh karena itu kita harus mempunyai teman untuk berbagi cerita, tidak semua permasalahan bisa kita selesaikan sendiri Nak…”
“Dan syukurnya kamu hendak cerita kepada keluargamu sendiri terlebih dahulu, yaitu Ibu, maka dari itu Ibu sangat menunggumu Jelita, tak apa kalo memang malam ini belom bisa kamu keluarkan, tapi jangan sampai hal tersebut mengganggu konsentrasimu terhadap hal lainnya…” Ibu memalingkan wajahnya ke arah kanan, untuk melihat raut muka dari anak sulungnya tersebut, serta melihat mata yang sepi, mata yang ingin berbicara seutuhnya, mata yang ingin mengeluarkan air yang sedang tertahan di balik kelopak.
“Jelita bingung Bu…” Tangisnya memecah kesunyian malam yang ditemani bulan sabit beserta dua bintang yang berjarak. Jelita memeluk Ibunya, erat sekali, tangisnya masih ditahan untuk tak sampai terisak-isak, Jelita takut adiknya mendengar pecahan tangisannya.
“Pelan-pelan aja nak, keluarkan atau bebanmu akan membayangi pikiranmu Jelita.”
“Hmmm, Jelita di beri surat peringatan dari atasan Jelita Bu…”
“…Padahal kan Jelita melakukan tugas dengan maksimal, tidak melanggar perintah atasan, Jelita bingung Bu, Jelita bingung salahnya dimana…”
“…beberapa pekan kemarin bahkan atasan Jelita menyukai kinerja Jelita, tetapi kok sekarang dia seolah membenci Jelita…”
“… Jelita juga ngga pernah tu di tempat kerja mencari musuh, Jelita selalu mencoba menjadi rekan yang baik, rekan yang tidak sombong, rekan yang saling bahu-membahu ketika pikiran satu dan lainnya sedang buntu, masa iyaa Jelita punya rekan yang ternyata diam-diam membenci Jelita”
“Eh kok banyak kali lah unek-unek yang kamu keluarin ini, kirain cuma mau numpang nangis di pelukan Ibu aja hehe.”
“Bu, Jelita lagi sedih, jangan dibercandain dulu ngapa…”
“Iyaa maafin Ibu, kebiasaan di ruang tamu nihh, soalnya kan tak pernah-pernahnya Jelita semelow ini dalam menjalani kehidupan.”
“Begini Jelita, semakin kamu merasa sudah menjadi yang terbaik, maka itu adalah titik kelemahanmu, kamu merasa hidupmu tak ada kesalahan, tiada kekeliruan, padahal yang menilai hal tersebut adalah rekan-rekanmu, atasanmu, tidak bisa kamu sendiri menilai kalau kamu yang paling terbaik di lingkup kerjamu…”
“…Terus, kamu ngga bisa buat semua orang menyukaimu, tak bisa menjamin semua orang tidak membencimu, manusia mempunyai pola pikir yang berbeda-beda, tergantung dari tempaan mana ia berasal.”
Jelita tak lagi menjawab perkataan Ibunya, kali ini cukup air mata yang bercucuran menjadi saksi, dan Lira mendengar dengan jelas suara kakaknya itu yang sedang terisak-isak, namun ia kembali diam dan melanjutkan mengerjakan resume materi, seolah tiada terjadi apa-apa di rumah itu.
*
Terlalu awal untuk pergi menuju ke tempat kerja, sarapan baru saja selesai dimasak oleh Ibu, Jelita langsung cepat-cepat mengambil kotak makanan berbahan plastik, yang berbentuk oval, berwarna biru dongker di dekat tungku, dua centong nasi melesat dari dandang menuju kotak makanannya, tak ketinggalan dengan lauk tempe dan telur rebus balado, serta tumis bayam yang membuatnya menelan ludah dalam-dalam.
Berpamitan kepada Ibunya yang sedang membereskan perlengkapan memasaknya di samping tungku, kemudian dengan langkah kaki tergesa-gesa ia mengetuk kamar adiknya memberi pamit lalu mengingatkan untuk jangan lupa membeli bensin motor legenda astrea milik sang almarhum Ayahnya itu, ia lalu mengeluarkan uang lima ribu rupiah dari saku celananya, tangannya langsung mengarah ke lubang ventilasi diatas pintu kamar adeknya bersamaan dengan uang yang ia luncurkan dan akhirnya terbang ke arah dalam kamar Lira.
Karena jam masih menunjukkan pukul 06:00, angkutan umum masih banyak ngetem di pinggir jalan. Hari Selasa bulan April, adalah jadwal Jelita untuk pergi ke tempat kerja menggunakan kendaraan umum. Sedangkan untuk Lira, adalah hari dimana ia menggunakan motor untuk pergi kuliah. Lira hanya bisa menggunakan kendaraan tersebut satu kali dalam seminggu dan telah di jadwalkan sama kakaknya, tiap bulan berganti, kadang di hari Senin, kadang Kamis, Lira pernah bertanya tentang perihal mengganti-ganti jadwal dalam pemakaian motor yang dilakukan kakaknya, kata kakaknya agar Lira tidak bosan untuk memakai kendaraan. Padahal dalam hati Lira mah sama saja, toh Adiknya cuma merasakan berkendara roda dua cuma sekali dalam seminggu.
Jalanan tak seramai biasanya ketika Jelita berangkat pada jam setengah tujuh pagi, suasana lengang tercipta, aroma semen basah yang diberikan embun pagi melekat di hidung kecilnya, langkah cepat dari kaki yang beralaskan sepatu pantofel menimbulkan bunyi yang tak serentak, melihat sekeliling pertigaan, mencari angkutan umum yang berjurus ke arah tempat kerjanya. Akhirnya ia menemukannya, di pojok kiri jalan, namun sialnya ia harus sabar menunggu hingga isi penumpang dalam angkutan umum penuh. Dua puluh menit berlalu, akhirnya angkutan umum yang dinaikinya bergerak perlahan, napas lega terdengar. Lokasi tempat kerja yang tidak begitu jauh, pengestimasian tak bakal telat pikirnya.
Berjalan dari sebrang jalan raya yang berhadapan langsung dengan tempatnya bekerja, sambil menilik jam di tangan kirinya, tepat pada waktunya, ujarnya. Baru mau memasuki pintu perusahaannya, ia langsung mengingat jelas tentang apa yang terjadi di kemarin sore, pintasan-pintasan yang membuatnya kembali berhadapan dengan kecemasan
Suara riuh terdengar, sesaat setelah ia berhasil menutup gagang pintu ruangan divisinya. Tiada yang berbeda, tidak ada hal yang terjadi, sama seperti layaknya hari-hari sebelumnya. Kegelisahan yang tadinya menyala terang, sekarang berubah menjadi sapaan-sapaan dari rekannya yang telah lebih dulu datang, termasuk Yudha dan Steva. Jelita meletakkan tasnya di pinggiran meja kerjanya, sejajar dengan berkas-berkas sisa pertemuannya bersama kliennya pekan lalu. Merebahkan pantat ke permukaan kursi, memejamkan mata, kemudian menghela nafas dalam-dalam, belum sampai dua menit Jelita mencoba berelaksasi, suara Yudha dan Steva silih berganti memanggil namanya.