Runutan Peristiwa

Dwiky Meidian
Chapter #3

Keraguan

Hawa panas menyelimuti siang yang begitu terik, peluhan keringat berjatuhan di sudut pelipis Jelita, rumah yang hanya berisikan dirinya sendiri. Ibu berada di rumah majikannya sedari pagi tadi karena akan ada acara arisan rutin, sedangkan Lira baru sejam yang lalu meninggalkan rumah untuk pergi nongkrong bersama teman kampusnya, Dina dan Ulfi.

Di atas meja ruang tamu, tergolek book note bewarna hijau gelap yang masih terbungkus dengan rapih oleh plastik. Setelah sekian tahun Jelita menggunakan book note dari souvenir pernikahan tetangganya, akhirnya tamat juga pada bagian akhir kertas. Sebenarnya sudah lama halaman dari book note souvenir itu habis, tetapi Jelita kerapkali memotong kertas hvs menjadi dua bagian, sesuai dengan ukuran book note, kemudian di strapless di halaman paling belakang, sehingga bisa ditulis kembali, yang pada akhirnya menumpuk dan menjadi tebal, yang berujung dengan membeli sebuah book note baru. Hitung-hitung sekalian untuk memulai coretan baru setelah diberi tampuh kepemimpinan yang lebih tinggi di divisi. 

Minggu yang begitu panas, channel radio favorit akhirnya melepas hening, berbulan-bulan Jelita tak lagi mendengarkan radio yang semakin berdebu dan usang. Diambilnya dua helai tisu gulung yang berada di atas meja di ruang tamu, kemudian di lapnya perlahan tombol-tombol pencetan dan lekukan yang berdebu dan kotor. Suara duo penyiar dengan logat melayu menjadikan kenangan bersama sang Ayah yang sepintas lewat, Jelita lalu duduk kembali di kursi coklat. Menggapai book note, kemudian membuka plastik bungkusannya, diciumnya aroma kertas yang khas itu, seperti layaknya mencium buku bacaan yang baru dibuka dari segel plastik. Pulpen berbentuk bulat gendut langsung di rogohnya dari saku celananya lalu menuliskan nama dan tanda tangan di halaman pembuka book note.

Sudah lama pula Jelita tidak lagi mengupdate blog pribadinya, karena kesibukan pekerjaannya. Kebetulan lagi senggang, ia kemudian mencoba membuat pokok-pokok bahasan, mulai dari pekerjaan pertamanya, mencari relasi, menjadi pemimpin pemula yang hanya mengecam pendidikan SMK, keluarga yang selalu ada hingga pada surat peringatan yang membuatnya sempat dag-dig-dug-ser dalam menjalani hidup.

Begitu asiknya ia memberikan coretan pada book note barunya, sampai-sampai ia tak mendengarkan ketukan jendela di pojokan beranda. Ibunya sedari tadi berdiri di luar, hingga akhirnya ia tersadar sendiri, lalu membukan pintu depan ruang tamu. 

“Kamu ngapain nak di dalem, Ibu gedor-gedor pintu kok ngga dibuka-bukain?”

“Maaf Bu, Jelita tadi lagi asik nulis tentang kisah Jelita beberapa tahun ke belakang ini, kan udah lama juga Jelita ngga nulis di blog pribadi Jelita, padahal kan di sana tempat permulaan Jelita hingga bisa seperti sekarang.”

“Eleh, alasanmu aja, rumah kita itu ngga gede nak, masa iya Ibu ngetok jendela kamu ngga denger, padahal lumayan kenceng loh…”

“Ah Bu, masa ngga percaya sama anaknya sendiri, untuk apa Jelita pura-pura ngga denger suara gedoran jendela..” 

“…Jelita emang tadi lagi fokus nulis Bu, maafin Jelita ya…” Jelita mengambil book note dari meja di ruang tamu, untuk sebagai bukti pembenarannya terhadap tuduhan Ibunya.

“Nak nak, serius amat, Ibu kan cuma bercanda aja.” Ibu kemudian mengeluarkan sesuatu dari kantong kresek putih yang berada di tangan kirinya.

“Nih Ibu beliin permen hot-hot pop sama mi gemez lumayan untuk ngeganjel perut kalo kehabisan cemilan di rumah.” 

Permen hot-hot pop, atau biasa dibilang dengan permen kaki, Jelita terkadang membelinya di warung dekat rumah, itupun hanya beli eceran satu atau dua butir saja, kalau memakan permen ini, sudah di pastikan lidah akan memerah. Kalau untuk mi gemez, selain mengincar makanan dengan bumbunya yang pekat oleh micin, juga mencari hadiah kartu ataupun komik pendek.

“Makasih Bu, tau aja ibu kesukaan Jelita hehe.”

“Jangan lupa dibagi sama Lira ya nak, jangan di makan sendiri, ingattt, JANGAN DIMAKAN SENDIRI!” Ibu langsung pergi menuju kamar\. 

“Hehehe iya Bu, pokoknya amann dah..”

Tanpa berbasa-basi lagi, dibukanya bungkusan permen kaki yang berisi dua puluh itu, dirogohnya satu permen. Telah tersumpal mulut Jelita oleh permen, kemudian dibukanya lagi bungkusan mi gemez yang berisi sepuluh, diambilnya satu. Dibukanya bumbu micin yang menggetarkan jiwa, serta tak lupa mengambil dahulu komik pendek yang berada di dalam kemasan, sebelum mi gemez tersebut dituang oleh bumbu micin. Pokoknya jangan ada yang tersisa dari bumbu micin itu, harus habis, sampai-sampai Jelita mencecap bungkus micin tersebut.

Book note dibiarkan tergeletak dengan kedua halaman yang sudah hampir terisi penuh oleh coretan Jelita. Jelita masih asik dengan permen kaki yang di kulumnya, bersamaan dengan terbukanya bungkus kedua mi gemez. Baru saja bumbu hendak dicurahkan ke dalam kemasan, Lira datang dengan membuka pintu beranda.

“Kakkk mau…” Lira langsung mendekati Jelita dengan muka merengek seperti anak balita yang ingin rambut mak nyonya dan balon gas. 

“Ambil aja tuh di samping radio, Kakak lagi sibuk nih…” sibuk menaburkan bumbu lebih tepatnya agar tiada tersisa.

Lira langsung mengambil dua bungkus mi gemez dan tiga tangkai permen kaki, untuk bagian permen kaki ia langsung memasukkan ke dalam saku celana kanannya. Lira kembali duduk di tikar lampit ruang tamu, bersebelahan dengan Jelita yang berada di atas kursi. Kunyahan mereka silih berganti berbunyi, mereka tak saling berbicara, hanya mengamati pemandangan di luar jendela ruang tamu.

Bunyi nada dering gawai Lira berbunyi, dirogohnya saku kiri celananya, lumayan lama ia memandang layar gawainya itu.

“Kenapa ngga diangkat Lira?” Jelita bertanya dengan mata masih memandang ke arah luar rumahnya.

“Eng,, engg,, nanti aja deh Kak, lagi sibuk makan mi gemez nih…” Lira kemudian menaruh lagi gawainya ke saku kirinya.

“Pasti kakak tingkatmu yang itu kan? Ada masalah? Atau malu mau ngangkat karena ada kakak disini?” serangan pertanyaan langsung diutarakan oleh Jelita kepada adiknya.

“Mmm, iya deh Lira jujur, Lira habis berantem tadi kak di kampus…”

“Lahh, berantem gimana?’

“Gara-gara Lira ngabisin cabe rawit gorengan kak…”

“Hee? Kok?” Jelita kali ini menatap wajah adiknya, karena merasa ada yang janggal.

“Begini kak, kan tadi Lira sama kakak tingkat beli gorengan gerobakan, nah waktu minta banyakin cabe rawit gorengannya, eh ternyata cabenya tuh tinggal empat doang, itupun sisa yang kecil-kecil, ya mau gamau deh kita ambil, mana beli gorengannya lima belas biji lagi, otomatis kan harusnya bagiannya dua dua kan kak, kita makanlah diatas motor di parkiran kampus, eh waktu ngambil gorengan kelima, cabe rawitnya habis, dianya ngambil tiga kak, Lira langsung marah, Lira tinggalin deh…

Lihat selengkapnya