Katanya aku serakah! Sudah tahu kondisi sibuk,
masih menyisakan waktu untuk lainnya.
Berkejaran dengan waktu seolah tiada hari lagi.
Berburu kesempatan hingga menggadaikan kesehatan.
Apa yang dikejar? Penghasilan? Penghargaan? Cari muka?
Bukan …, tetapi binar mata dan senyum bahagia yang menjadi incaranku
~Nardo Shidqiandra~
🍃🍃🍃
Kolam ikan koi yang berada di depan ruang guru menarik perhatian Nardo. Seninnya sangat tenang, kecuali kegaduhan pagi tadi. Tidak ada jam mengajar, tidak ada panggilan ke ruang TU untuk mengerjakan data, tidak ada juga panggilan dari mereka yang biasanya berebut minta bantuan.
Rekan kerjanya seolah mendiamkan lelaki berusia 26 tahun itu. Tidak semua, hanya beberapa saja yang kontra akan keberadaannya. Sisanya masih seperti biasa. Saling menyapa dan melempar senyum.
Meski senyum tetap saja menghias wajah dengan rahang tegasnya, tetapi sorot matanya kosong. Sesekali lelaki itu tampak menghela napas lalu mencebik. Ada rasa yang ingin dilepaskan hingga membuatnya lega.
“Sudah berapa kali menghela napas untuk hari ini? Sejak duduk di situ dengan memandangi ikan-ikan koi yang berdansa, Pak Nardo sudah empat kali mengembus napas dengan keras.” Suara itu membuat Nardo menoleh lalu menepuk sisi kanannya yang kosong meminta orang itu duduk di sana.
“Lagi nganggur, Pak? Kalau nganggur di sini saja sambil ngapalin corak ikan koi ini. Itu yang putih polos namanya Rambo. Pojok kanan dengan corak oranye di bagian kepala dan ekor itu namanya si Diga, sebelahnya itu yang punya tiga warna namanya Gori. Deketan sama Gori yang ngintilin dia terus itu namanya Wondi. Sebelah sana yang sering sembunyi tak sebut Madu, soalnya kuningnya bening kayak madu. Kalau nah yang paling besar itu bisa dipanggil Titik, soalnya di tengah badannya itu seperti titik hitam yang besar,” oceh Nardo panjang lebar.
Radit melongo mendengar ucapan guru baru itu. Sejak pertama kali kenal ini adalah kalimat terpanjang dan teraneh yang Nardo ucapkan. Radit mendekat dan meraba kening Nardo sebentar lalu melihat ke atas. Sinar matahari siang ini cukup terik.
Mungkinkah Pak Nardo ini kepanasan, makanya ngoceh ngalor ngidul nggak jelas malah ngasih nama ikan segala, batin Radit.
“Pak, ngadem di kantor saya. Sepertinya Pak Nardo kepanasan.”
“Pak Radit kalau bosan di kantornya tinggal panggil mereka saja, Rambo, Diga, Gori, Wondi, Madu, Titik. Singkatnya mereka bisa dipanggil Ra dighowo mati!”
“Iya, iya, nanti saya panggil mereka,” Radit menarik dan menggiring Nardo ke kantornya.