Rush Hour

NarayaAlina
Chapter #9

09 ~ Sasaran Empuk

Hai, pejuang data, selamat melewati malam!

Dalam hening masih berkutat dengan alat tempur.

Berlembar-lembar berkas, file yang berjajar rapi di layar PC,

berderet aplikasi melengkapi malammu.

Jangan tanya jam berapa mata ini terpejam.

Sebab sekali terpejam dan bablas sampai azan Subuh berkumandang,

bersiaplah menyongsong hari panjang nan ramai ocehan.

~Nardo Shidqiandra~

🍃🍃🍃

Seluk-beluk dunia pendidikan, khususnya sekolah, tidak hanya seputar antara guru dan murid saja. Banyak komponen yang berpengaruh dan akan berdampak secara nyata terhadap berlangsungnya kegiatan di sekolah. Salah satunya adalah operator.

Satu yang tidak diketahui orang banyak. Operator adalah garda terdepan. Segala bentuk pendataan mengandalkan kesanggupan seorang operator. Meski kinerja operator itu seperti tuyul, saat bekerja tidak terlihat, tidak pernah mendapat pujian, sering diabaikan, tapi hasilnya nyata.

Lain halnya jika berkaitan dengan tenaga pendidik dan kependidikan. Pendataan sukses yang dikerjakan selama berhari-hari, menggunakan banyak kuota internet, menguras tenaga, hanya dihadiahi dua kata, terima kasih.

Berbeda kisah jika pendataan itu kacau, banyak kekurangan, mendapat teguran dari operator kabupaten, maka hadiahnya bukan hanya dua kata, ada banyak kata yang terucap. Ucapan sepanjang jalan kenangan kau dan dia akan memenuhi telinga mereka, para operator.

Seperti hari ini, setelah izin tidak masuk untuk menjaga si bungsu, Nardo tidak lalai pada tugas yang dia bawa pulang. Tas ransel di punggungnya penuh sesak antara berkas data dan laptop miliknya.

“Gimana si kecil? Sudah baikan?” tanya Radit saat bertemu di parkiran khusus dewan guru.

“Sudah, sudah baikan, Pak. Bahkan hari ini sudah diizinkan untuk pulang. Terima kasih sudah memberi izin, Pak.”

“Nggak masalah, lagian tidak ada jadwal mengajar ‘kan? Pak Yus juga bilang kalau kalian berbagi tugas. Tugasmu sudah beres?”

Nardo mengangguk sembari berjalan di samping Radit, “Apa ada yang cari saya kemarin?”

Radit menoleh, “Ada, siapa lagi kalau bukan Bu Dara. Biasalah, nggak ada yang bisa dia urus selain kepentingan orang lain.”

Lihat selengkapnya