Kehilanganmu adalah hal berat yang pernah kulalui.
Dari tidak ada, menjadi ada, lalu kembali tiada.
Ada sekat kasat mata yang mengikat.
Kehadiranmu yang memberi arti, hingga kepergianmu menyisa pedih.
Rupanya, aku masih menunggu bisa untuk terbiasa.
Sampai nanti, aku 'kan berdamai!
Menjadikanmu sebait kisah dalam kenanganku.
~Nardo Shidqiandra ~
🍃🍃🍃
Kehilangan adalah hal yang paling tidak diinginkan. Jika mereka yang pergi masih bisa kembali membawa canda dan tawa, bisa jadi kesedihan akan terpinggirkan. Namun, jika yang pergi tidak pernah bisa kembali, apa daya? Hanya ikhlas yang bisa menjadi obat.
Seperti ada kepingan yang hilang dalam hidup Nardo saat dia, sang adik angkat yang hanya dikenalnya selama beberapa waktu pergi dan menyisakan pedih tak terbayarkan. Nardo yang bekerja sebagai pengajar dan pengurus di Pondok As-Salam harus menemani si pendatang baru, Muhammad Rashfaby.
Kisah pilunya, kesabarannya menunggu maaf dari sang ayah, hingga usahanya membuat banyak burung bangau kertas yang bertuliskan banyak harapan. Semua pengorbanannya terasa menyesakkan untuk Nardo.
Anak yang seusia Aby masih berpikir tentang dunia bermain, sedangkan anak itu sudah memikirkan jauh ke depan. Pemikiran dewasa setelah dicap sebagai orang gila oleh ayahnya sendiri.
"Mas Nardo, bolehkah Aby mengungkapkan rasa sayang sama seseorang?" ujar Aby begitu Nardo masuk dan duduk di sebelah brankarnya.
"Boleh, Dek. Apalagi rasa sayangnya karena Allah"
"Mas, kalo niatan baik lalu tidak kesampaian, apakah itu termasuk dosa?" tanyanya lagi
Nardo mengernyit keheranan, "Niatan yang bagaimana, Dek?"
"Aby ingin menjadi Hafidz, Mas, tapi rasanya Aby gak bakal sempat deh!" ucapnya dengan wajah murung.
"Insya Allah, jika manusia berniat baik itu sudah dicatat dan masuk dalam catatan kebaikan. Namun, lain halnya dengan niatan buruk. Niatan buruk tak langsung tercatat menjadi catatan buruk, karena Allah selalu berprasangka baik pada ummat-Nya. Sehingga niatan buruk baru tertulis ketika itu sudah dilakukannya." Nardo mencoba menjelaskan dengan penuh kesabaran
"Alhamdulillah, Mas Nardo deket Aby sini! Aby mau bilang sesuatu." Nardo menggeser kursinya. "Mas Nardo, terima kasih sudah membantu Aby menjadi lebih baik. Mas ikhlas 'kan bantu Aby?" tanya Aby dengan lirih
Percakapan dengan Aby kembali hadir dalam mimpi Nardo saat lelaki itu kehilangan kesadarannya. Kenangannya bersama sang adik angkat kembali berputar seperti film. Setiap kenangan yang terekam bermunculan silih berganti hingga membuat Nardo gelisah dalam tidurnya.
Pak Guru muda itu seperti terjebak dalam kenangan lamanya. Keringat tidak berhenti menetes dari pelipisnya. Radit mengusap kening Nardo, rasa khawatirnya tak bisa disembunyikan. Sebab sejak observasi di UGD, sampai dipindahkan ke kamar rawat kesadaran Nardo timbul tenggelam.
🍃🍃🍃
Pak Tjah memasuki kamar rawat perlahan karena takut mengganggu sepupunya yang sedang beristirahat. Lelaki itu menghampiri Radit dan mengajaknya pindah ke sofa.
"Keluarganya sebentar lagi ke sini. Saya tunggu sampai mereka datang. Kalau Pak Radit mau kembali dulu silakan."
"Boleh saya tunggu di sini saja, Pak? Setidaknya sampai dia benar-benar sadar. Dari tadi ngigau panggil-panggil Aby. Sesayang itu Pak Nardo sama Aby."
"Pak Radit tahu cerita Aby?"
"Tidak banyak, Pak."
"Aby itu bukan siapa-siapa, bukan keluarga ataupun kerabat, tapi dampak kehadiran Aby begitu besar untuk Nardo. Dari Nardo yang ceria berubah menjadi pendiam setelah kepergiannya."
"Mungkin karena Aby tampak istimewa dan memberikan banyak pelajaran untuk Nardo."
"Sayangnya dia sama Aby itu sama seperti sayangnya Pak Radit pada Pak Birendra. Seperti tidak bisa tergantikan."
Radit menunduk saat nama saudaranya kembali disebut oleh Pak Tjah. "Bi memang tidak akan pernah tergantikan, Pak."