RUSH ROMANCE

Herlan Herdiana
Chapter #7

Devia Anindira

Suram sekali!

Sudah 10 menit sejak Aku duduk disini, tanpa kata dan bicara, dengan gadis yang baru saja Aku kelabui. Memang sih, pergi selama 30 menit tanpa kabar dan tidak bisa dihubungi saat sedang jalan berdua (menurut dia) pasti siapa saja akan menjadi dongkol.

Aku memberi alasan kalau sedang sakit perut, dan selama 30 menit itu hanya duduk di closet tapi tidak mengeluarkan apa-apa. Alasan itu cukup membuatnya berkata ‘oh’, tapi tidak cukup untuk membuatnya puas. Sampai sekarang, Ia sedang makan makanan yang sudah dingin di meja, dengan cemberut dan memancarkan aura gelap, yang sampai terasa sekali merasuk pada makananku juga. Ngomong-ngomong ini adalah kejadian sebelum Aku bertanding game amatir, yang berhadiah 10 juta dan tentusaja berhasil Aku menangkan.

Lalu setelah selesai makan, kami jalan berdua lagi menuju event venue, dan masih tanpa kata dan pembicaraan.

Event game amatir-nya akan segera dimulai,

“Aku bertanding dulu ya!”

“Iya.” Ia masih menjawab dengan nada acuh.

“Kamu tunggu disini ya! Nanti nama ID-ku Daddoss, mungkin gak akan sering tampil di layar, tapi nanti Aku akan berusaha untuk menjadi juaranya.”

“Iya.” Kali ini Dia memalingkan mukanya,

“Do’akan Aku ya!”

“Iya.” Aduh, jadi begini ya saat wanita itu sedang marah. Aku baru tahu saat mengalaminya sendiri, pantas saja orang-orang sering membahas hal ini di sosial media.

“Aku pergi dulu!” Lalu Aku memakai topeng las yang kusimpan ditas, lalu berjalan meninggalkan Devia di kursi penonton.

Aku menoleh kebelakang untuk melihat reaksi apa yang sedang Ia gunakan, dan Ia tidak melihat padaku sedikitpun. Jadi ini rasanya dibenci, rasanya lebih parah dari tidak diperdulikan.

Singkat cerita Aku berhasil menyelesaikan pertandingan. Lalu Aku ganti baju biasa untuk bertemu dengan Kiana, berpamitan padanya, dan lalu ganti baju lagi untuk pulang bareng Devia.

“Aku menang!” Kata pertama yang Aku sampaikan untuk menunjukan kegembiaraan.

“Selamat ya!” Kali ini Dia sudah bisa sedikit menunjukan senyuman.

Syukurlah! Aura negative yang Dia pancarkanpun sudah perlahan memudar sekarang.

“Oh ya! Mumpung kita masih disini, kamu udah tahu apa yang Kamu butuhkan?”

“Maksudnya?”

“Tadi Aku janji, kalau menang mau memberikan Kamu hadiah!”

“Oh itu! Kalau gitu Aku mau minta setengahnya aja! Gimana?”

SETENGAHNYA? AKAN DIA APAKAN UANG SEBANYAK ITU? Ini diluar dugaan, kukira Dia hanya akan meminta sebuah barang yang harganya tidak sampai 200 ribu. Tenang! Aku sudah janji sebelumnya, dan jika difikir-fikir Akulah yang sudah memaksanya meminta sesuatu dariku. Sebaiknya Aku tidak mempertanyakan pertanyaan tentang hal berbau protes sekarang.

“Ok!” Sebenarnya Aku mengatakan ini dengan sangat berat hati.

“Kalau gitu ayo pergi!”

“Barangnya gak ada di Mall ini?”

“Enggak ada.”

“Kalau boleh tanya, nanti Kamu mau beli apa?”

“Nanti juga kamu tahu sendiri!” Jangan buat Aku penasaran dong!

“OK!” Aku mengatakan ini dengan rasa ingin tahu dan juga berat hati secara bersamaan.

Di jalan, saat Aku membonceng Devia menuju tempat yang Ia akan tuju.

Akan digunakan untuk apa ya uang itu? Itu terlalu banyak lho, untuk anak SMA. Apa Dia punya hutang? Gak mungkin, gak ada orang yang mau meminjamkan uang sebanyak itu pada anak SMA. Apa orang tuanya yang punya hutang? Mungkin saja.

Atau Ia cuma mau membeli sebuah barang aja? Apa ya kemungkinanya? Make up? Tapi selama ini Dia tidak pernah memakai make up mahal. Tunggu, mana Aku tahu harga make up itu mahal atau tidak, sebaiknya Aku tidak boleh menyimpulkanya secara sembarangan. Tapi apa iya, ada make up semahal itu. Enggak, make up yang lebih mahal dari itu banyak sekali, dan biasanya dipakai oleh artis atau selebritis. Maksudku, apa benar Ia akan membeli make up semahal itu, untuk ukuran gadis SMA itu nampaknya terlalu mencolok.

Dan sekarang kami berhenti di depan toko pet shop.

Sekarang semuanya mulai masuk akal.

“Oh! Kamu mau cari hewan peliharaan ya? Apa itu kucing? Atau anjing? Kalau Aku sih lebih suka kucing. Kucing Anggora bagus juga tuh!”

“Bukan! Ini masih belum sampai. Kita masuk gang kecil itu sekarang!”

“Siap Bu!” Aku menuruti perintahnya, memacu motor ini ke dalam gang kecil itu.

Ini pasti opsi pilihan yang pertama, dan sekarang Ia akan menuju rumah penagih hutangnya. Aduh, tapi sebaiknya Aku tidak boleh berburuk sangka!

“Stop disini!” Devia memukul pundak-ku beberapa kali.

Lihat selengkapnya