“Kak! Aku tahu lho, kemarin Kakak jalan sama Kak Devia!”
Apa yang harus Aku katakan sekarang? Dengan kalimat todongan seperti itu, siapapun pasti akan bingung menjawabnya. Apalagi yang Dia katakan itu semuanya benar, dan bukan hanya jalan bersama wanita lain, Aku juga bertemu dengan wanita lainya juga. Tapi yang ketiga tadi biar menjadi rahasia saja, lebih baik sekarang jangan berikan tabung gas bocor pada api yang sedang menyala.
Gawat! Aku tidak bisa memikirkan apapun.
Isi kepalaku benar-benar kosong sekarang, ini seperti sedang ujian matematika dimana disana dijaga oleh guru killer lalu Kamu tidak bisa mengisi apapun karena sehari sebelumnya sibuk main game. Atau seperti akan persentasi di depan atasan sementara Kamu belum menyiapkan apapun, dan berharap bisa berjalan lancar dengan hanya mengandalkan improvisasi, yang sayangnya belum pernah Aku alami karena Aku masih SMA.
Lalu mengapa Dia tidak membahas itu kemarin malam?
Malah Dia meminta pertemuan hari ini. Apa untuk minta klarifikasi? Atau Dia ingin putus sekarang? Nampaknya pilihan terakhir itu memungkinkan, lagian bagaimana bisa Kamu sudah punya pacar lalu jalan bersama gadis lain. Ya memang sih poligami itu tidak dilarang, tapi poligami hanya berlaku pada pernikahan saja. Sementara untuk berpacaran, poligami itu akan dianggap hina. Ya, tapi kalau ketahuan aja sih.
Dan Aku sudah melakukan semua itu. Berpacaran, dan ketahuan jalan bersama pacar lainya. Jadi tidak ada kemungkinan lain, sekarang Dia akan minta putus. Aku harus siap menerimanya sekarang.
Anelis, “Aku lihat Kakak sama Kak Devia di Panti Asuhan. Kebetulan Aku lagi lewat, dan kalian baru aja pulang. Lalu Aku penasaran, dan tanya sama Kakak yang jaga disana. Katanya Kakak habis bantu mereka dengan uang hasil juara main game.” Ia mengatakan itu dengan masih mendekapku dengan kedua tanganya.
Jadi Dia memergoki Kami pada saat itu,
“I....Iya! Kamu benar so’al itu.”
“Aku tahu Kak Devia ngebantu panti asuhan itu dengan cara mencari donatur. Tapi kenapa Kakak gak bilang sama Aku so’al ini sebelumnya?”
Masalahnya mulai terang,
“Maaf! Kalau Kakak bilang takutnya Kamu nanti marah, dan gak ngijinin Kakak buat ikut turnamen itu karena jalanya bareng sama Devia.”
“Tapi kalau udah begini Aku bukan cuma marah Kak! Aku juga kecewa sama Kakak! Ini seperti Kakak gak percaya sama Aku! Dan menganggap Aku seperti anak kecil!” Ia mengatananya dengan wajah yang masih menempel didadaku yang basah.
Basah karena air kolam, dan Aku masih menggunakan kaos sekarang.
Anelis mengeluarkan semua isi hatinya dengan nada tenang, padahal sebelumnya Aku mengira Dia adalah tipe orang yang menggebu-gebu. Dan tidak hanya tenang, Dia selalu menahan dirinya untuk tidak menangis. Aku tahu itu karena dia tidak bisa menyembunyikan suara isakan dari hidungnya, meski saat ini Ia sedang memalingkan wajahnya dari pandanganku.
“Anelis, kita pacaran belum lama dan jika dihitung belum ada seminggu juga. Meski kita sudah saling kenal dari kejadian enam bulan lalu, tapi Aku belum mengenal Kamu secara lebih jauh. So’al kejadian kemarin, Aku gak bilang sama kamu bukan karena menganggap Kamu belum dewasa, tapi karena Aku gak mau cari perkara aja. Maaf karena sudah berfikir kamu akan marah jika Kakak izin so’al yang kemarin. Waktu itu Kakak fikir, Kakak gak perlu ngasih tahu karena gak ada kemungkinan Kamu bakal tahu, harapanya kejadian kemarin berlalu begitu saja dan tidak terjadi apapun. Tapi Kamu malah tahu, dan itu secara gak sengaja pula. Ya, sekarang Kakak gak minta Kamu maafin Kakak, tapi Kakak harap Kamu bisa ngerti aja. Dan jika Kamu nyari orang yang tepat untuk disalahkan, salahin aja Kakak karena memang semuanya Kakak yang salah!” Tanpa sadar Aku mengelus kepalanya sambil mengatakan itu.
“Aku ngerti kok! Kakak juga sebetulnya gak salah. Tapi memikirkan itu semua tetap menyakitkan buat Aku.”
“Maaf so’al itu! Mulai sekarang Kakak gak akan ketemu sama Devia lagi, kalau itu bisa membuat Kamu tidak tenang.” Untuk sekarangmah janji aja dulu, ditepatin atau enggak itu urusan nanti.
“Gak kayak gitu Kak!” Wajahnya melihat kearahku, dan dekapanya mulai longgar sekarang.
“Maksud Kamu?” Sekarang kami saling menatap satu sama lain.
“Temen Kakak di kelas kan cuma Kak Devia, nanti Kakak gak punya teman!” Uh! Itu memang benar, tapi jangan mengatakanya dengan wajah tak berdosa dong! “Aku gak papa Kakak berteman sama Kak Devia, tapi kalau ada perlu sama Kak Devia sebaiknya Kakak kabarin Aku!” Aku gak bisa janji so’al itu.
Ternyata Kamu pengertian juga,
“Ok! Tapi jangan bahas so’al Kakak gak punya teman lagi ya! Semuanya memang tidak salah, tapi di dunia ini ada yang tidak harus kita katakan! Kamu ngerti Kan?”
“Fufufufu! Baiklah, Aku ngerti!” Dan sekarang suasana sudah terpantau kondusif.
Anelis sudah tidak memasang wajah muram lagi. Aku terkejut bisa membuat suasana berubah menjadi lebih tenang, padahal tadi Aku sempat mengeluarkan keringat dingin saat Dia bertanya so’al kejadian kemarin. Yang untungnya bisa tersamarkan dengan basahnya air kolam, jadi gak terlalu kelihatan. Meskipun sekarang Aku mengalami dehidrasi berat, karena terlalu banyak mengeluarkan keringatnya.
“Kak?” Dia mengatakanya dengan tatapan kosong, sambil memandang lurus kearah mataku.
“Iya?”
Dia lalu memejamkan mata, dan membiarkan bibirnya mengerucut tanpa pengawalan sedikitpun.
Apa ini?
Tidak salah lagi! Ini adalah saat dimana pacarmu meminta untuk melakukan itu. Memang sih, suasananya lagi bagus dan waktunya sedang tepat pula, disini juga gak ada orang lain yang melihat kami. Tapi apa benar, Dia ingin melakukanya disini sekarang juga? Aku belum menyiapkan mental untuk hal semacam ini.
Dan kenapa Dia bisa agresif seperti ini? Apa ini karena Aku menggodanya saat berpisah di lapangan volly minggu kemarin? Tapi saat itu Aku sedang bercanda, Aku tak menyangka Ia akan menganggapnya serius.
Celaka! Dia benar-benar serius, memasang wajah seperti itu ketika jarak kami sangat dekat, tanganya juga masih ada disela badanku, meski saat ini Ia mendekapnya dengan longgar, tidak seperti saat Dia memeluk-ku tadi.
Bohong bila Aku tidak ingin melakukanya juga, tapi Aku ingin melakukanya dengan orang yang Aku sukai. Ini bukan berarti Aku membencinya, tapi Aku berpacaran denganya karena murni percobaan saja, ini mungkin terdengar sangat jahat, Aku juga tidak tahu perasaanku yang sebenarnya saat ini kepadanya. Aku tidak menyangka Anelis sangat serius dengan hubungan ini, Aku jadi merasa sangat bersalah sekarang.
Sekarang Aku tidak bisa membiarkan Dia memasang wajah itu lebih lama lagi, tapi Aku tidak bisa menolaknya juga. Kita tidak mungkin mengecewakan inisiatif se’orang gadis, yang sedang mencoba melangkah maju. Itu adalah perbuatan yang hina bagi se’orang lelaki, meski membagi perasa’an adalah lebih hina sih.
Aku terpaksa harus melakukanya, tidak ada pilihan lain lagi sekarang.
“Mmmmh?? ............ Kak?” Tentusaja Ia kaget, dengan jari telunjuk tangan kananku yang sekarang ada dibibirnya.
“Aku gak mau kalau seorang gadis yang melakukan inisiatif. Memang sih, ada yang dinamakan emansipasi wanita, tapi untuk hal yang seperti ini sebaiknya kita harus mencapainya dengan bertahap. Langkah demi langkah. Anelis, Aku sayang sama Kamu. Maka sebaiknya kita jalani saja semuanya dengan apa adanya, saling mengenal perlahan, lalu suatu saat Aku yang akan mengambil inisiatif.” Aku sebenarnya mengatakan hal ini secara reflek saja, dan ini diambil dari kutipan dialog sebuah game simulasi kencan. Aku juga tidak tahu apa maksud dari kata-kata itu.
Lalu Aku melepaskan jariku dari bibirnya,