“Hari Rabu, Aku gak jadi latihan karena pelatihnya lagi sakit. Jadi kita latihan ringan aja, lalu pulang habis itu. Di jalan Aku ketemu Kakak lagi jalan sama Kiana, sama-sama baru turun dari bis. Entah kenapa waktu itu Aku mutusin buat ngikutin kalian berdua, yang ternyata sampai di suatu rumah yang gede. Aku tebak itu pasti rumahnya Kiana. Aku gak tahu apa saja yang kalian lakukan selama disana, tapi yang Aku lihat Kakak ada disana sampai jam 6 sore.”
Anelis mengatakanya sambil membelakangiku, jadi Aku tidak tahu wajah seperti apa yang sedang Ia buat. Yang bisa kurasakan sekarang hanya getaran suaranya yang lirih. Meski tidak menangis seperti seminggu yang lalu, tapi kurasa rasa kecewa yang Ia rasakan lebih besar dari waktu itu.
“Kamu nungguin Aku sampai pulang?”
“Iya. Fufufu! Mau gimana lagi, katanya kita akan jadi bodoh kalau sedang jatuh cinta. Apalagi kalau lagi suka sama seseorang, nunggu lima jam itu gak ada apa-apanya. Pada saat itu Aku ingin menanyakan banyak hal ketika Kakak keluar dari gerbang, tapi dengan Kiana yang datang memeluk Kakak dari belakang, nampaknya sudah cukup menjawab semuanya.”
Maaf karena Kamu harus mengalami ini.
Maaf karena sudah melibatkan Kamu dalam hubungan yang rumit ini.
Maaf karena Aku adalah orang brengsek, yang memacari 3 orang secara bersamaan.
Maaf karena Aku tidak mampu mengatakan apapun sekarang, Aku tidak tahu kata maaf mana yang harus Kukatakan terlebih dahulu.
“Waktu Kakak jalan sama Kak Devia juga, rasanya Aku melihat hal yang berbeda. Saat matanya melihat Kakak dengan rasa kagum, Aku tak bisa berfikir hal lain lagi, itu adalah mata orang yang sedang jatuh cinta juga. Sama seperti yang Aku rasakan. Awalnya Aku berfikir, gak papa buat bersaing untuk mengejar orang yang kita sukai. Tapi kayaknya Aku gak bisa seperti ini terus, Aku ingin bebas Kak!”
Sekarang Anelis berbalik, Aku bisa melihat semua ekspresi wajahnya.
Anelis, “Jadi ini terakhir kalinya kita ketemu! Makasih buat semuanya, menghabiskan waktu bersama Kakak terasa menyenangkan.”
Seperti minggu lalu, senyuman getirnya berbanding terbalik dengan sembab dikantung matanya. Sekarang Aku harus berdiri,
“Anelis, sebenarnya...............” Aku lalu menceritakan kronologi perbuatan tercela yang Aku lakukan pada mereka bertiga. Tapi mungkin akan ada sedikit penambahan dan pengurangan cerita, supaya terlihat lebih dramatis.
“Jadi begitu. Fufufu! Pasti berat ya, Kakak harus melalui ini semua?” Tuh kan, Kamu juga pasti berfikir seperti itu.
“Maaf, karena sebenarnya Aku tidak tahu siapa yang paling Aku sukai diantara kalian bertiga?” Akhirnya kata maaf ini yang bisa Aku ungkapkan kepadanya.
“Aku ngerti. Siapapun yang nanti Kakak pilih, kuharap itu pilihan Kakak yang paling baik. Tapi Aku masih ngarep Kakak milih Aku sih! Fufufu!”
Dari ketiga gadis yang Aku pacari, yang sekarang sudah berkurang menjadi dua karena Anelis barusaja memutuskanku, Anelis adalah gadis dengan intuisi paling tajam. Aku menyadarinya saat Kita dipertemukan secara tidak sengaja di rumahku.
Dan pada saat Dia memergoki Aku jalan bersama Devia, Aku merasa Dia tidak mengeluarkan semua yang Dia rasakan, ketika Dia bicara padaku. Nampaknya Dia sudah tahu ada yang salah dengan hubungan ini sejak lama.
Aku tidak tahu apa yang harus Aku sampaikan padanya, setelah Dia dengan terang-terangan berharap dipilih olehku. Tapi yang pertama nampaknya Aku harus meminta maaf dulu dengan benar,
“Anelis.......”
Anelis mengalihkan pandanganya dengan cepat kearah samping, nampaknya untuk menegaskan apa yang sebelumnya Dia lihat samar diujung matanya.
Dia lalu memegang tanganku, “Kita harus pergi dari sini Kak!”
“Ada apa?” Aku juga melihat kearah yang sama, dan ada dua orang lelaki berumur sekitar 20 tahunan menghampiri kami dari jarak sekitar 20 meter. “Siapa mereka?”
“Nanti Aku jelasin Kak!”
Saat Aku memperhatikan mereka, nampaknya mereka bukan semacam preman atau tukang pukul lainya. Jadi Aku berfikir kalau mereka ada urusan yang ingin dibicarakan kepadaku atau pada Anelis.
“Anelis, lebih baik jelaskan dulu siapa mereka kepadaku!”
“Dia itu penguntit Kak! Dia udah ngikutin Kita dari pertama kita masuk kesini!” Dan lagi-lagi Aku tidak sadar kalau sedang diikuti, intuisiku memang buruk.
“Mereka tak mungkin mengikuti Kita tanpa alasan!”
“Itu Sebastian! Anak Cowok kenalan temen mamaku, sebulan lalu Kami dikenalkan oleh orang tua Kami. Tapi kayaknya Dia salah mengira kalau Aku suka padanya. Jadi Dia selalu ngikutin Aku terus Kak!”
“Jadi ini bukan pertamakalinya?”
“Ya udah Kak. Ayo pergi! Dia tak mungkin berbuat macam-macam kalau Kita ada dikeramaian.”
Aku melepaskan tangan Anelis yang sedang mencengkeram tanganku,
“Enggak Anelis, Kita harus bilang yang sebenarnya supaya Dia berhenti ngikutin Kamu!”
“Tapi Kak!”
“WOY! LU SIAPANYA ANELIS?” Itulah kata pertama yang Ia ucapkan kepadaku.
“Gua pacarnya Anelis! Tapi itu sekitar 10 menit yang lalu, barusan Dia minta putus. Dan kayaknya Gua setuju dengan keputusan itu, jadi........”
“ENGGAK USAH MUTER-MUTER! Jadi Lu siapanya Anelis?”
“Sekarang bukan siapa-siapa.”