Tidak ada yang istimewa, ya tidak hujan saat ini saja sudah bagus.
Tapi kalau hujan juga, Kami tinggal lari berteduh kedalam. Mungkin menyeduh beberapa cangkir kopi setelahnya, untuk membuat pembicaraan ini menjadi hangat.
Satu bulan yang lalu, Aku masih duduk di depan komputer sendirian. Tanpa ada sedikitpun bayangan, sosok 3 dimensi ini bicara denganku. Hanya menanti pagi yang tiba-tiba datang, lalu tanpa sadar sudah sampai pagi lagi, terimakasih untuk ibuku yang datang ke kamar menyuruh berangkat sekolah.
Devia, gadis manis yang Aku pacari dan Aku tigakan. Saat ini, di pengawal malam minggu ini, Dia masih memakai seragam karyawan Laundry, yang Dia sendiri juga disini merangkap sebagai CEO.
Ibu Aminah yang sudah lama kukenal, sudah pulang dari rumah sakit. Kondisinya sudah baik, hanya saja beliau tidak diperkenankan bekerja dulu untuk 1 minggu kedepan. Jangan khawatir Bu! Aku akan ada disini menggantikan Ibu sebagai relawan kemanusia’an.
Tapi alasan jujur mengapa Aku bekerja disini, itu karena rasa bersalah.
Tanpa berdandan dan terlihat sisa lelah, Devia masih nampak Anggun. Aku hanya bisa mengaguminya tanpa kata, karena yang bisa Aku ungkapkan secara langsung hanyalah rasa dari nasi goreng-nya yang enak.
Aku tidak bisa berkata terbuka, karena dihatiku masih menyimpan sosok dua gadis lainya.
“Kalau difikir-fikir, hubungan Kita selama ini itu unik juga!” Devia, saat Kami masih berdua’an di lantai 3 sambil memandangi genteng tetangga.
“Oh! Kamu akan mulai ceritanya dari situ!”
“Fufu! Kita itu sekelas dari kelas 1, tapi gak pernah ngobrol sama sekali!”
“Waktu kelas satu, apa yang Kamu fikirkan tentang Aku?”
“Apa ya? Gak peduli mungkin!”
“APA? Kenapa Kamu bisa berfikir seperti itu?”
“Kamu itu selalu terlihat malas ketika ada di kelas. Kalau lagi jalan di lorong juga, kayak orang yang gak ada nyawa-nya gitu! Kamu sering ketiduran di kelas, datang telat, bahkan sering izin gak masuk dengan alasan yang gak masuk akal.” Iya, Dia memang tahu semua dosa-ku.
“Kalau tahu sampai detil begitu, bukan-nya itu berarti Kamu merhati’in Aku?”
“Iya juga sih. Lebih tepatnya, mungkin waktu itu keberada’an Kamu tidak Aku perhitungkan saja!”
Apa disini hanya Aku, yang merasa kalau tidak diperhitungkan itu lebih hina daripada tidak dipedulikan?
“Tapi itu dulu kan?”
“Iya. Setelah kelas 2, semua pandangan Aku sama Kamu jadi berubah.”
“Apa yang mengubahnya?”
“Rangking Juara Umum!” Sudah kuduga.
“Tapi kan Kita cuma beda satu peringkat aja! Aku di nomor 8, Kamu di nomor 9!”
“Tapi Aku ngerasa, Kamu bisa aja ada diperingkat yang lebih tinggi dari itu!”
“Hah?”
“Dulu, Aku sangat kompetitif sekali kalau urusan dengan nilai akademis! Apapun akan Aku lakukan buat dapat nilai yang bagus, salah satunya jadi ketua kelas. Aku merasa kalau Aku ada diposisi itu, Aku bisa dapat dikenal oleh guru dan mudah ketika bertanya hal yang tidak Aku tahu. Aku juga jadi Siswa yang aktif, ikut kegiatan OSIS, pulangnya lalu belajar sampai larut malam. Semuanya Aku lakukan, karena sadar Aku bukan orang yang jenius!”
“Tapi Kamu bekerja keras! Apa Kamu kurang puas dengan semua hasilnya?”
“Bukan tidak puas! Lebih tepatnya Aku iri! Aku iri dengan kalian, yang tidak perlu belajar dengan giat buat dapat peringkat yang tinggi! Sementara Aku buat dapat peringkat 10 besar itu, harus mengorbankan semua-nya. Aku udah gak punya waktu lagi buat main, akhir pekan juga sibuk belajar, bahkan Aku gak punya teman satu-pun!”
Kita dewasa dengan pengalaman kan? Aku juga begitu, beda-nya Aku mengalaminya saat SMP, lebih cepat dari Kamu. Aku sangat tahu rasanya bagaimana menghadapi dunia ini sendirian.
Tapi daripada Aku melawan, Aku lebih banyak melarikan diri. Akhirnya mereka semua mengacuhkanku, menganggap Aku tidak ada, dan berujung pada terlalu nyaman dengan perlakuan acuh mereka terhadapku.
“Tadi Kamu bilang ‘kalian’, apa Kamu menganggap Aku itu salah satunya (orang jenius)?”
“Menurutku begitu. Kamu adalah orang yang paling santai diantara siswa lain yang masuk 10 besar. Kamu gak pernah terlihat belajar, pulang sekolah juga langsung pulang tanpa ikut belajar tambahan apapun, Kamu juga sering terlihat ditempat game, bahkan Aku pernah lihat buku catatan Kamu tidak pernah Kamu isi.” Devia mengatakan semuanya dengan tenang dan terbuka.
“Darimana Kamu tahu semua itu?”
“Aku kan udah bilang, kalau dulu Aku ini kompetitif banget! Jadi Aku menganalisa kalian semua secara mendalam, satu-persatu! Rata-rata siswa yang masuk 10 besar, adalah orang yang rajin. Punya guru bimbel, les dimana-mana, dan juga tipe orang yang rajin bertanya pada guru. Kamu bukan salah satu dari mereka, Aku tahu itu karena Aku pernah ngikutin Kamu beberapa kali!” Devia menoleh, lalu menunjukan wajah tanpa dosa padaku.
Bertambah lagi, orang yang pernah punya riwayat membuntuti Aku sepulang sekolah. Apa mereka semua sering menonton film detektif?
“Memangnya waktu itu apa yang Kamu kejar?”
“Aku juga gak tahu!”
“Lalu kenapa Kamu terus berlari?”
“Karena Aku gak mau orang lain mendahului Aku!”
“Apa yang mengubah cara pandang Kamu?”