Asam Lambung.
Setidaknya itulah yang dikatakan Ibuku. Ketika kutanya sebab, mengapa diriku ini bisa tidak sadarkan diri 3 hari yang lalu. Dan sekarang, di hari Kamis yang masih tanpa tujuan ini, Aku sudah ada lagi di sekolah. Setelah 2 hari dilarang masuk oleh anjuran dokter.
Kali ini benar-benar tidak diperbolehkan sekolah ya! Bukan Aku yang sengaja mengambil keuntungan untuk bolos.
Aku sudah memberi pesan pada mereka (Para pacar, yang nampaknya sebentar lagi akan jadi mantan) untuk bertemu di belakang sekolah, sepulang sekolah nanti. Kali ini jawaban pesan mereka sangat kompak, ‘Ok’.
Hanya itu saja, setelah 3 hari ini mereka tidak ada yang berinisiatif menanyakan kabarku. Sedikitpun.
Mau bagaimana lagi, itu semua nampaknya bentuk hukuman yang setimpal buatku.
Ya Aku juga gak mau berharap apapun lagi pada mereka. Aku cuma ingin mengucapkan kata perpisahan saja. Yang harus Aku sampaikan secara langsung, supaya perasa’an yang mengganjal di hati ini bisa selesai. Dan so’al bagaimana nanti hubungan Kami setelah ini, Aku hanya bisa menyerahkan semuanya pada takdir.
“Makasih udah datang kesini!”
Mereka tidak menjawab,
Dari mulai Devia yang berada di sisi kiri arah pandanganku, Anelis ditengah, dan Kiana disisi kanan. Tidak ada satupun dari mereka yang memasang wajah bahagia. Tentusaja. Sa’at ini mereka seperti datang untuk memberi hukuman, dibandingkan meminta pertanggung jawaban.
“Pertama, Aku ingin minta ma’af pada kalian semua!” Karena tidak ada yang bicara, Aku melanjutkan kembali kalimat pengakuanku. “Karena sudah melibatkan kalian pada kekacauan ini. Kedua, Aku ingin mengatakan kalau semua yang terjadi itu benar adanya. Tidak ada yang perlu Aku jelaskan, dan tidak ada yang akan Aku tutupi lagi.”
Devia, “Kenapa Kamu ngelakuin semua ini?”
Anelis, “Iya Kak. Apa alasan Kakak mainin perasa’an Kita semua?”
“Enggak gitu! Aku gak ada niatan buat mainin Kalian semua!”
Devia, “Lalu Kamu anggap apa semua perbuatan Kamu itu?”
“Begini, Aku akan jelaskan semuanya dengan rinci! Waktu itu........” Lalu Aku mengutarakan flashback kejadian satu bulan yang lalu. Disa’at hari pertama Aku melibatkan mereka dalam kejadian ini. “Ya. Kurang dan lebihnya seperti itu. Aku juga tidak tahu mengapa semuanya bisa jadi begini.”
“Jadi Kakak menganggap Kami jadi bahan percoba’an?” Anelis mengatakanya sambil menunjukan wajah sembab.
“Itu mungkin benar. Tapi kata ‘bahan percoba’an’ kayaknya terlalu kasar! Itu seolah menunjukan kalau Aku ini orang yang sangat jahat!”
“ITU KEJAM! PADAHAL KUKIRA SELAMA INI KAKAK BENAR-BENAR MENYUKAI AKU!” Kiana yang dari tadi diam, mengeluarkan isi hatinya. Sambil sesekali mengisak ingus, dan menunjukan wajah basah karena air mata yang membanjir.
Aku setuju, Aku memang jahat dan kejam. Ini memang sudah salah dari awal. Masalah hati sese’orang bukanlah hal yang bisa diuji coba.
“Ma’afkan Aku Kiana! Anelis! Devia! Ini semua karena murni kebodohanku saja!”
“Kamu seneng udah ngelakuin semuanya? Kamu bangga punya banyak pacar?” Bahkan Devia yang paling tenang saja, sekarang tidak segan menunjukan amarah.
“Enggak!”
“lalu buat apa Kakak ngelakuin ini semua? Buat Pamer? Nunjukin kalau Kakak bisa punya pacar banyak? Buat siapa juga Kakak pamerin ini semua? Apa ini karena Kakak ingin dianggap Populer?” Anelis menjadi satu-satunya yang tidak menangis. Meski dari awal Ia sudah menunjukan wajah merah.
“Bukan gitu! Aku gak ada sedikitpun niatan buat mainin kalian! Aku cuma ingin seperti orang lain. Punya pacar, bersosialisasi, punya hubungan yang dekat dengan orang lain, itu aja. Gak ada maksud apa-apa lagi!”
Anelis, “Lalu Kakak milih siapa sekarang?”
Devia, “Jangan bawa-bawa Aku! Aku enggak mau berhubungan lagi dengan orang yang enggak ada niat serius!”
“Aku ngerti Kak! Aku cuma ingin tahu kepastian dari Dia aja!”
“Aku enggak tahu! Aku bingung jika harus menentukan pilihan, sekarang Aku cuma ingin Kita semua bebas. Enggak ada lagi yang harus Kita khawatirkan. Aku bebas melakukan apa yang Aku mau, dan Kalian bebas mencari orang lain yang bisa serius sama Kalian! Tidak seperti Aku.”
Anelis, “Apa Kakak melakukan-nya karena suka pada Kami, tapi tidak bisa memilih?”
“Enggak tahu!”
Kiana, “Lalu Kakak anggap apa? Hubungan Kita selama satu bulan ini?”
“Enggak tahu!”
“Cukup! Aku udah nggak tahan lagi!” Devia menghampiri Aku,
“PLAK!” Dia menggampar pipi kiriku dengan tangan kanan-nya.
“Itu enggak seberapa dengan apa yang Aku rasain!” Devia, sa’at tangan-nya masih dalam keada’an posisi siaga, sehabis menampar. Dengan ekspresi kecewa yang tidak lagi Dia sembunyikan. Raut wajah yang sedang Ia tunjukan, sama sekali tidak membuatku takut, tapi membuatku merasa sangat bersalah.