Gege menatap mangkok mie. Isinya masih utuh seperti saat pertama dia tuang dari panci ketika selesai dimasak.
Sekuat tenaga Gege menahan kesedihan.
Dia tidak ingin menjadi lelaki yang cengeng. Tapi sungguh akhir-akhir ini semuanya tampak tidak berjalan dengan baik.
Gege tahu tadi Nina sengaja tidak mengeringkan rambutnya saat keluar dari kamar mandi. Istrinya itu hanya ingin membiaskan antara air yang menetes dari rambut dengan air matanya. Tapi toh mata yang memerah itu tidak dapat begitu saja ditutupi Nina. Gege hanya pura-pura tidak melihatnya.
Batin Gege teriris tiap kali melihat Nina menangis dalam diam.
Seperti yang baru saja Nina lakukan.
Minum susu sambil menangis.
Bercermin sambil menangis.
Ah, Gege melenguh lara.
Bagaimana caranya memulihkan semua ini? Gege tidak mengerti. Bahkan untuk memulai bertanya kepada Nina, Gege bingung. Dia bukan lelaki yang pandai berkata-kata. Lagipula Nina biasanya tidak bersikap seperti itu.
Nina yang dia kenal adalah perempuan yang gampang sekali mengungkapkan perasaannya. Saat dia sedang marah dengan Gege atau tak suka sikap Gege, dia akan dengan gamblang memberitahukannya. Tidak pernah pakai kode-kode. Tidak pernah merajuk atau mendiamkan Gege.
Kemarahan Nina selalu ditandai dengan kecerewetan tiada henti, ceramah-ceramah panjang hingga larut malam. Meski sering kali 'ceramahnya' jadi melebar kemana-mana. Kesalahan Gege yang dulu-dulu dimuntahkan kembali, diulik-ulik lagi.
Dan Gege hanya menanggapinya dengan diam. Sesekali menimpali dengan kata 'iya', 'maaf'.
Tapi setelah itu selesai. Benar-benar selesai.
Karena ketika bangun pagi hari, Nina sudah tampak biasa saja.
Memasak sarapan. Membuatkannya kopi hitam satu gelas besar. Kopi itu nanti akan diminumnya secara bergiliran, antara Gege dan Nina, sebelum menjadi dingin.
Gege dan Nina pecandu kopi hitam panas. Dan sejak menikah, mereka terbiasa meminum kopi panas dari cangkir yang sama setiap pagi. Biasanya Nina akan memulai dengan satu teguk kecil untuk tes rasa kopi yang dibuatnya.