"Aku tidak meminta pertanggungjawabanmu, Ge," Nina berkata lirih.
Kegelisahannya disalurkan dengan mengaduk-aduk sendok dalam gelas teh hangatnya.
Mereka berpindah tempat.
Tidak jadi mengadakan pertemuan di taman kota.
Kedai soto dan bakso sederhana dipinggiran kota dipilihkan Gege untuk lebih leluasa berbicara.
"Kita berdua tahu, tidak mungkin membiarkan bayi ini hadir ke dunia. Akan merusak semuanya, iya kan?" Nina berkata lagi. Kali ini dengan menahan tangis. "Aku akan menggugurkannya."
Gege tercekat. Nafasnya dirasa semakin berat pada setiap hembusannya. Terlebih saat melihat airmata mulai berjatuhan di pipi Nina.
"Aku tidak tahu bagaimana caranya, tapi aku akan menggugurkannya segera," Nina berkata lagi. Kali ini sangat lirih seperti kalimat itu ditujukan kepada dirinya sendiri. "Tak bisa kubayangkan apa jadinya kalau Mamaku tahu. Aku benar-benar tak sanggup, bahkan hanya untuk sekedar membayangkan saja."
Tangan Nina sibuk menghapus airmata yang berlomba jatuh tak terbendung. Sedang kepalanya sudah puluhan kali menggeleng, tanda dia benar-benar tak menginginkan janin yang sekarang bersemanyam di dalam dirinya.
Gege seakan membeku di tempat. Tak mampu berkata-kata, tak juga dapat melakukan sesuatu.
Nina memandang Gege. Wajahnya masih pias, meski seulas senyum dipaksakan disana.
"Aku pulang dulu ya, Ge. Sepertinya ini akan menjadi hari terakhir dari hubungan kita," Nina menggigit bibirnya sendiri. "Aku ingin setelah ini kita tidak perlu bertemu lagi."
Nina berdiri, Gege memegang tangan Nina. Menahan langkah Nina sesaat.
"Berapa usianya?" Gege berbisik sambil melihat ke arah perut Nina.
Nina mengambil nafas.
"Entah, aku tidak berani ke dokter. Aku hanya tahu dari test pack."
"Barangkali testpack itu salah?" Gege berusaha memberi angin segar kepada dirinya sendiri.
Nina duduk kembali. Memandang Gege dengan tatapan kuyu.
"Aku sudah mencoba puluhan testpack dari hari Jumat lalu, Ge. Hasilnya sama semua," Nina berbisik lirih.
Gege menarik sudut bibirnya. Angin segar yang ditumbuhkan tadi mendadak berhembus dingin yang membekukan kembali. Matanya mulai terasa berkabut.
"Ma-maafkan a-ku," Gege berbisik terbata, sebulir air akhirnya terbit di sudut matanya.
Nina sekuat tenaga menahan tangisannya.
"Apapun yang terjadi nanti, jangan hubungi aku ya! Anggap saja semua tidak pernah ada."
Nina kembali berdiri. Melangkah meninggalkan Gege seorang diri.
Gege ingin mencegah Nina. Ingin memeluk Nina. Ingin mengatakan bahwa dia mau bertanggung jawab. Ingin mengatakan pada Nina: ayo kita hadapi bersama-sama!
Tapi semua itu hanya gemuruh dalam hatinya sendiri.
Realitanya Gege terpekur. Masih tetap membeku ditempat dia duduk. Membiarkan Nina pergi begitu saja.
***
Sejak hari itu, hati Gege dipermainkan oleh perasaan yang diciptakannya sendiri.
Gelisah, takut, sedih, cemas. Tergulung-gulung menjadi satu di pusaran pemikiran Gege.
Gege sangat ingin menemui Nina, tapi sungguh dia tidak berani melanggar larangan Nina.