Rusuk Berbisik

yustine
Chapter #6

Chapter #6

"Jadi apa yang mau kamu bicarakan, Ge?" Nina menegakkan kepala. Menatap Gege.

"A-aku...a-aku," Gege mengatur aliran udara yang seakan-akan menderu memenuhi semua rongga dadanya. Dia melirik Listya yang sedang menatap tajam.

"Sudahlah, Ge. Semuanya sudah berakhir, aku baik-baik saja," Nina berkata dengan suara yang kentara sekali bergetar.

Mata Gege sengaja menatap perut Nina.

"Su-sudah...," Gege makin terbata-bata. Tengkuknya dirasa telah basah.

"Ya," Nina menjawab tegas, dengan sekali gerakan dia menyentuh bagian perutnya sendiri. Cukup sedetik saja. Tapi bisa dipastikan Gege sudah melihat kodenya.

"Ayo, Lis!" Nina menarik tangan Listya.

Listya menurut pada Nina. Meskipun tanda tanya besar menyulut kepalanya.

Dilihatnya dengan keheranan kepada wajah Gege yang seperti berubah dari merah menjadi abu-abu dan memudar menjadi entah.

Listya hampir berlari kecil untuk mengimbangi langkah Nina yang lebar-lebar lagi cepat. Menjauh dari sosok Gege yang masih membeku dan membatu ditempatnya.

"Nin...."

Listya mengurungkan niatnya untuk bertanya, ketika dilihatnya mata Nina memerah, kemudian berkabut dan air mulai merembes dari kedua matanya.

Di sudut kampus yang sepi, Nina berhenti dan memecahkan tangisnya disana. Listya meraih bahu Nina dan membimbing Nina kepelukannya.

Listya hanya mampu mengelus pundak Nina sebanyak yang dia bisa, Listya sungguh tak tahu harus mengatakan apa.

Satu menit kemudian Nina kembali menegakkan badannya. Menjauh dari pelukan Listya. Sekuat tenaga Nina menghentikan tangisannya. Bibir Nina dipaksakan tersenyum kepada Listya.

Tangan Listya mencari-cari tisu di tasnya. Sejenak sibuk sendiri, tapi tak ditemukan benda yang dia cari. Ditengoknya sampai ke saku-saku tas, tapi memang tidak ada.

"Sial, kemana...," rutuk Listya lirih, tangan dan matanya sibuk mengubek isi tasnya untuk kesekian kali.

Tiba-tiba Nina terkikik disela tangisnya.

Listya menoleh.

Dilihatnya Nina melambaikan satu pak tisu.

Listya tertawa kecil, lalu mengedikkan bahu, "Ya, aku lupa kalau yang selalu punya persediaan tisu adalah kamu."

Nina tersenyum. Sementara tangan kanannya sibuk mengelap lelehan air mata dan ingus yang menyertainya. Lembar demi lembar tisu sudah tercabut dari tempatnya, berlomba dengan air mata yang masih terus turun meski Nina sudah berhenti menangis.

"Ayo kita cari minum!"

Nina menggeleng.

"Ayolah," Listya menarik tangan Nina, setengah memaksa.

"Bilang saja kamu akan menginterogasi aku," Nina berkata sambil tertawa.

Dia sudah benar-benar selesai dengan tangisannya, air mata sudah tidak ada, ingus pun sudah tak menyesaki hidungnya lagi. Namun beberapa bagian wajahnya masih memerah, memperlihatkan dengan jelas bahwa sang empunya wajah baru selesai menangis.

Sekuat tenaga dibendungnya perasaan sakit yang tiba-tiba mendera dadanya. Kepalanya. Jantungnya. Nina tersenyum pahit, mencoba menyembunyikan rasa sakit itu.

"Sebenarnya ada apa, Nin?" Listya menatap langsung ke dalam pupil Nina. "Antara kamu dan Gege?"

Nina melenguh. Kemudian menghela nafasnya dalam-dalam. Senyumnya terbit lagi diujung bibir.

"Kenapa?" Listya terus saja mencecar. "Ayolah, kita kan teman, Nin. Ceritakan padaku, barangkali aku bisa membantumu."

Nina mengedikkan bahunya, "yaaa kamu tahu sendiri bagaimana Papa Mamaku kan?"

"Jadiii....kalian sebenarnya saling suka, tapi kamu tak berani pacaran?"

Nina hanya menjengitkan alisnya ke atas. Listya mengangguk-angguk menyimpulkan sendiri apa arti gerakan alis Nina.

"Eh kenapa enggak backstreet aja sih?" tanya Listya polos.

Nina menggeleng. Dan tersenyum lagi, teringat beberapa kencan rahasia yang pernah dilakukannya bersama Gege. Air mata spontan muncul lagi. Buru-buru Nina menahan air yang masih menggantung di sudut mata dengan jarinya.

"Jangan nangis lagi dong, Nin," Listya melihat air mata itu. "Aku bingung harus ngapain kalau kamu nangis."

Kedua gadis itu tertawa.

"Teman macam apa kamu ya," Nina berkomentar disela tawanya. "Makanya sudah, berhenti bertanya-tanya. Kan aku jadi sedih lagi."

"Oke," Listya masih memperlihatkan deretan giginya. "Tapi aku penasaran."

Nina menonjok bahu Listya.

"Apa ini ada hubungannya kamu sakit itu, Nin?"

Hati Nina spontan mencelos. Tapi langsung digelengkan kepalanya.

"Bisa jadi loh, kata orang-orang penyakit itu sebenarnya karena hati dulu yang sakit, baru kemudian badan. Kalau pikiran sehat, badan juga sehat."

"Mukaku keliatan sembab ya?" Nina bertanya, dengan tujuan mengalihkan pembicaraan Listya.

Ganti Listya yang menjengkitkan alisnya.

"Keliatan banget gitu?" Nina mengejar.

"Ya, liat sendiri, biasanya kan kamu selalu bawa kotak bedak."

Lihat selengkapnya