Hati-hati Nina mengangkat alat tes kehamilan dari wadah kecil berisi urinnya sendiri.
Tak ada tambahan garis merah!
Dilihatnya sekali lagi.
Betul-betul hanya ada satu garis saja!
Yes!
Sudah dua pagi berturut-turut, alat tes ini menunjukkan bahwa sudah tak ada kehamilan terditeksi di tubuh Nina.
Wah, lega. Legaaa.
Kemarin siang pun dia sudah bisa menyeruput kopi hitamnya dengan santai. Tak ada lagi mual. Beda dengan saat testpack masih menghasilkan dua garis merah. Belum diseduh saja, aroma kopi bubuk membuatnya mual.
Berarti darah hebat seminggu lalu yang keluar dari dalam tubuhnya, hingga menyebabkan dia lemas, itu bukan darah biasa, pasti itu janinnya yang luruh.
Untung saja orangtuanya tidak curiga saat Nina berbohong bahwa dia sakit karena sedang mendapat menstruasi, ditambah kurang tidur karena harus belajar hingga menjelang dini hari untuk ujian akhir semester. Sehingga Mama dan Papa tidak kuatir secara berlebihan, mereka hanya menyuruh Nina segera pergi ke dokter.
Padahal yang sesungguhnya terjadi, karena Nina terlalu banyak meminum obat masuk angin yang diborongnya dari apotek. Nina nekat meminumnya empat jam sekali. Bagaimana dia tidak lemas? Obat itu jelas-jelas telah membuatnya mengantuk sepanjang hari. Dan janin yang masih sangat muda itu benar-benar tak kuat dicekoki obat yang jelas-jelas terlarang untuknya.
Tapi syukurlah semua telah berlalu.
"Pagi, Ma!" Nina keluar dari kamar. Senyumnya merekah.
"Wah, sudah baikan? Tadinya Mama berencana mengantarmu ke dokter hari ini. Karena kemarin Mama lihat kamu masih agak lemas," Mama yang sedang sarapan menatap ke arah Nina.
"Aku sudah sehat kok, Ma!" Nina mengambil duduk, dan bersiap sarapan bersama Mama.
"Maafin Mama ya, jadi kemarin kamu harus ke dokter sendirian. Papa juga kebetulan sangat sibuk."
"Enggak apa-apa, Ma. Kemarin dokter juga bilang aku enggak sakit apa-apa, katanya aku kecapekan. Dokter menyarankan istirahat dan hanya memberi vitamin saja," Nina tersenyum. Menutupi kebohongannya, karena sesungguhnya dia sama sekali tidak mengunjungi dokter mana pun.
"Tapi matamu masih sedikit bengkak ya. Masih belajar sampai malam?"
"Iya, Ma. Masih satu mata kuliah nih, tinggal hari ini aja."
"Ah sayang, Mama bangga sama kamu, usahamu benar-benar maksimal. Tapi kalau memang kondisimu sedang tidak memungkinkan, tidak apa-apa kamu mengerjakan ujian sebisamu dulu. Masih bisa mengulang semester depan kan?"
"Aku punya target harus jadi sarjana dua tahun dari sekarang, Ma," Nina melempar senyum. "Selama masih bisa kuusahakan, aku berusaha semampuku."
Mama yang tengah mengunyah hanya bisa mengacungkan ibu jarinya ke arah Nina.
"Papa kapan pulang?" Nina bertanya sambil mulai makan.
"Rencananya siang ini. Oiya, Nin, semalam Papa menelepon. Gimana menurutmu kalau kita liburan ke Malang? Kayanya kita sudah lama tidak liburan bersama. Kita keliling Malang, ke Batu lanjut ke Bromo. Tapi tentu saja menunggu kamu benar-benar sehat dulu. Bulan depan ya?" Mama berkata setelah menelan makanan di mulutnya.
Nina menoleh ke kalender yang tergantung di dinding, tepat di samping kanannya. Bulan depan hanya tinggal sepuluh hari lagi.