Nina pulang kerumah hampir pukul enam.
Meski tadi sudah sedikit lebih kencang menarik gas motornya, tetap saja petang sudah membayang begitu dia mencapai pagar rumahnya. Lampu-lampu juga telah menyala.
Saat masuk, dilihatnya Mama dan Papa duduk di depan televisi yang menampilkan sinetron.
"Loh, belum siap-siap?" Nina tampak terkejut saat melihat orangtuanya masih memakai baju rumah. Mama bahkan sedang asyik bermain dengan Reza, anak Iyu yang belum genap dua tahun.
"Hai sayang. Halo Ibu Nina," Mama menyapanya. Kalimat kedua Mama dibunyikan meniru suara anak-anak sambil melambaikan tangan mungil Reza.
"Masih sempat kok, aku mandi enggak lama, ganti baju terus kita berangkat," suara Nina setengah mendesak.
"Kita tunda saja ya. Besok kan kamu libur, bisa lebih nyantai," Papa menyahut.
"Iya, sayang. Kamu pasti juga capek, mandi dulu sana, kita makan bersama dirumah aja," Mama mendukung perkataan Papa.
"Enggak apa-apa, Ma, Pa. Ayo kita berangkat, aku mandi lima menit, ganti baju lima menit," Nina tetap memaksa.
Mama tersenyum, "sudah sana mandi dulu, keburu tambah malam. Makan malam diluar masih bisa besok kan?"
"Oke deh," Nina menjawab pendek. "Maafkan aku ya."
Mama dan Papa hanya tertawa kecil. Tak ada raut kecewa disana.
Nina pergi ke kamarnya untuk mandi.
Sejujurnya memang dia lelah. Hari ini Nina harus memeriksa beberapa berkas laporan yang dibuat tahun lalu. Kemarin anak buahnya mendapat komplain dari kantor pusat, setelah diperiksa memang ada beberapa kesalahan lumayan fatal. Untuk benar-benar mengetahui akar masalahnya, terpaksa Nina dan timnya harus membongkar beberapa berkas dan memeriksa ulang.
Sebenarnya bisa saja Nina menunda sampai hari senin depan, dan tdi pulang tepat waktu, toh kantor pusat memberinya waktu sampai hari selasa pagi. Tapi Nina tidak akan tenang melewati libur akhir minggunya jika masalah itu masih belum terselesaikan.
Jadilah janji makan malam dengan keluarganya tertunda lagi. Padahal sudah tertunda entah ke berapa kali. Karena sejatinya makan malam yang selalu tertunda itu untuk merayakan keberhasilan Nina menjadi kepala administrasi. Dan Nina sudah jalan empat bulan menjabat sebagai kepala administrasi.
Baik Mama, Papa dan Nina semuanya sibuk. Kalau yang satu bisa, yang lain sibuk. Jadwal mereka seolah tidak bisa kompak. Bulan lalu bahkan Papa sempat masuk ke rumah sakit, karena kelelahan. Saat itu mereka berencana makan malam segera setelah Papa keluar dari rumah sakit, tapi nyatanya sampai hari ini terus tertunda.
"Nin!" Mama melongokkan kepala ke dalam kamar Nina, tepat ketika Nina keluar dari kamar mandi.
"Maaf, Mama langsung masuk, tadi Mama ketuk, kamu enggak dengar. Ternyata kamu masih dikamar mandi."
"Enggak apa-apa, Ma. Kenapa?"
"Ayo keluar, makan dulu. Sekalian ada yang ingin kami bicarakan sama kamu."
Nina membulatkan matanya.
"Ayo!" Mama menuntunnya keluar.
"Ada apa nih?" Nina bertanya keheranan.
Mama membawa Nina ke meja makan. Disana sudah ada Papa menunggu.
"Mandi lima menit, ganti baju lima menit," Papa menirukan kalimat Nina tadi dengan nada mencibir. "Keluarnya masih pakai daster saja lima jam loh, apalagi dandan untuk pergi."
Nina tertawa malu, "ya karena enggak jadi pergi, aku mandi dengan santai dong. Enggak lima jam juga kali, Paaa."
Iyu keluar membawa mangkok besar dengan asap yang mengepul. Baunya membuat perut Nina langsung meronta.
"Pangsit kuah spesial untuk Mbak Nin!" Iyu berseru sambil meletakkan mangkok tersebut ditengah meja.
"Wah, makasih ya, Yu. Kamu enggak ikut makan sekalian?"
"Saya di belakang saja sama bapake Reza, Mbak."
Nina tertawa. Entah kenapa setiap Iyu memanggil suaminya dengan sebutan bapake Reza, di telinga Nina terdengar sangat lucu.
Iyu lebih muda dari Nina. Baru berumur lima belas tahun saat datang dari kampung dan mulai bekerja dirumah Nina. Dia tidak melanjutkan sekolahnya ke jenjang SMA, karena dia sendiri yang tidak mau. Katanya sudah malas belajar. Bahkan saat ditawari Papa untuk melanjutkan sekolah, Iyu tetap bersikeras menolak.
Tiga tahun lalu dia menikah, suaminya dari kampung yang sama. Dulu pedagang bakso keliling kompleks, tapi semenjak Iyu hamil, Yudi - si bapake Reza itu - , ikut tinggal dirumah Nina dan membantu Iyu bersih-bersih. Sekarang Yudi sudah bisa menyetir, jadi sekali-kali jadi sopir keluarga juga.
"Hei sudah, jangan tertawa terus, ayo makan!" Mama menepuk bahu Nina pelan.
"Habis lucu ih, bapake Reza...," Nina masih saja terkekeh.
Mama dan Papa mau tak mau ikut tertawa.
Mama mengambil pangsit kuah untuk Papa, kemudian untuk Nina, baru untuk dirinya sendiri. Selanjutnya masing-masing dari mereka sibuk menambahkan kecap, saos, sambal, bawang goreng ke mangkok masing-masing. Tangan-tangan hilir mudik seperti lalu lintas di atas meja makan sementara waktu.
Lalu lintas itu baru berhenti ketika masing-masing dari mereka sudah merasa menemukan komposisi ternikmat saat menyeruput kuahnya.
Lalu mereka mulai makan.