Seusai makan malam perjodohan itu, esoknya Harvey betul-betul datang kerumah Nina. Harvey datang seorang diri dengan mengendarai mobil cukup bagus, meskipun bukan kategori mobil mewah.
Harvey ternyata menjabat sebagai manager marketing di sebuah perusahaan pembiayaan mobil. Orangnya santai, suka bercanda seperti ayahnya.
Sebentar saja Harvey sudah dapat mencuri perhatian seisi rumah, bahkan si kecil Reza terlihat senang sekali jika dipangku Harvey dan diajak bicara.
Nina beberapa kali pergi keluar bersama Harvey, sekedar makan atau pergi ke tempat wisata dekat-dekat, tentu saja sepengetahuan dan restu orangtuanya. Terkadang Papa dan Mama ikut juga bersama mereka.
"Boleh tanya enggak? Tapi kamu harus jujur jawabnya," Nina memandang Harvey.
Mereka sedang menikmati kelapa muda di sebuah lokasi wisata lokal, sebuah pantai yang tidak terlalu terkenal tapi lumayan cukup ramai di hari libur ini.
Harvey tertawa, "kok tiba-tiba serius?"
"Sebenarnya sudah lama, tapi baru berani tanya sekarang," jawab Nina lugu. "Kamu kan punya pekerjaan oke, ganteng...."
"Thank you! Mau bilang aku ganteng aja muter-muter gitu."
"Enggak usah kepedean deh, maksud aku dengan segala yang kamu punya, masa sih enggak bisa cari pacar sendiri?" Nina masih saja memandang Harvey. "Jawabnya jujur ya."
Harvey menarik senyumnya. Rahangnya agak mengeras. Posisi duduknya dihadapkan ke arah Nina.
"Yaa saatnya kamu tahu ya, barangkali kita berjodoh, kan emang harus saling terbuka," Harvey tersenyum, masih saja bisa bercanda.
Mau tidak mau Nina jadi ikut tersenyum.
"Sebelumnya aku punya pacar. Pacarku cantik, seksi, pokoknya...," Harvey tanpa sungkan bersiul nakal di depan Nina, tangannya mengalun sedemikian rupa.
"Sekarang kemana pacarmu itu?"
"Diambil orang."
Nina spontan terkikik.
"Bulan depan mereka menikah. Calonnya pengusaha, kaya raya, botak, tua, bau tanah," tiba-tiba nada Harvey meninggi. Ada suara sakit yang menyembur dari dalam hatinya. "Dia meninggalkan aku begitu saja, demi harta. Coba demi apalagi kalau ada gadis muda cantik mau menikah dengan aki-aki peyot?"
Nina terdiam.
"Ibuku benar, dia hanya cewek matre. Dari awal Ayah dan Ibuku memang menentang hubungan kami, tapi aku terlanjur jatuh cinta kepadanya. Sungguh dia sangat cantik," Harvey menerawang.
Nina memandang Harvey, kentara sekali lelaki di depannya itu masih mempunyai cinta kepada si cewek matre.
"Kalau dia kembali sekarang, kamu masih mau menerimanya?"
Harvey memandang Nina beberapa detik, "ah, tidak mungkin."
Nina ingin melemparkan gurauan, tapi Harvey seperti sedang larut ke dalam kenangannya.
Beberapa saat suasana menjadi hening diantara mereka.
Nina memandang ke arah pantai. Masih saja ada beberapa yang bermain air dengan santai meski matahari mulai menyengat.
"Kamu sendiri?" tiba-tiba Harvey balik bertanya. "Punya kisah apa dengan seseorang?"
Nina terkesiap. Antara kaget dengan suara Harvey dan pertanyaan itu sendiri.
Seketika Nina langsung teringat Gege, lalu dijawabnya pertanyaan Harvey dengan mantap, "menurutmu?"
Harvey tergelak.
"Jujur saja ya, Nin, waktu ayahku menceritakan bahwa akan dikenalkan kepada seorang gadis yang tidak pernah pacaran, aku berpikir seberapa jeleknya kamu."
Nina menonjok bahu Harvey. Harvey mengaduh sambil cengengesan.
"Ternyata lumayan lah."
"Lumayan apa?" Nina pura-pura menggeram.
"Lumayan... tapi memang keliatan tidak pernah mengenal cowok, kamu kaku sekali," Harvey tergelak lagi. "Wah, ternyata ada ya di jaman begini, di kota sebesar ini, gadis suci yang belum tersentuh. Aku beruntung atau apa?"
Harvey masih tertawa memandang Nina.
Nina menelan ludah. Semua berpikir bahwa dirinya gadis suci? Bahkan Papanya sendiri menyampaikan hal seperti itu kepada ayahnya Harvey: gadis yang belum pernah mengenal lelaki.
Dalam kepala Nina mendadak bising, bukan karena Harvey yang tidak bisa berhenti tertawa, tapi Nina sibuk mengumpulkan keberanian untuk melontarkan pertanyaan. Menimbang-nimbang dengan cermat: bertanya atau tidak, bertanya atau tidak.
"Apakah kesucian itu menjadi hal yang penting untukmu, Harv?" akhirnya Nina mempunyai keberanian itu.
Harvey mengedikkan bahu.
"Kalau aku sudah sangat cinta, bisa saja kuabaikan," Harvey menjawab dengan nada ragu-ragu. "Mungkin sih.... Asal dia berterus terang sebelum menikah."
Nina menatap mata Harvey.
"Eh, kenapa kita ngomongin beginian? Jangan-jangan kamu...," Harvey menuding jarinya ke arah Nina.
Nina terkesiap, darahnya seakan spontan turun semua ke ujung kaki.
"Kamu curiga aku adalah cowok nakal ya?" Harvey ganti menatap Nina.