Sudah bisa diduga, selepas Gege pergi, Papanya mencecar beberapa pertanyaan.
Nina menjawab dengan ditambal kebohongan disana sini.
"Tapi Papa beneran salut sama keberanian Gege, langsung ketemu Papa. Jarang ada lelaki begitu, Nin."
"Gege cerita apa saja, Pa?" Nina penasaran juga. Apa saja yang sudah Gege sampaikan kepada Papanya selama dia belum dirumah tadi. Tidak mungkin juga langsung menyatakan keinginan untuk melamarnya.
"Ya dia sih hanya cerita bahwa saat kuliah dulu, dia pernah nembak kamu, tapi kamu menolak dengan alasan tidak diperbolehkan pacaran, sampai selesai kuliah. Dan sekarang dia percaya diri melamar kamu, karena disamping dia sudah punya pekerjaan bagus, dia juga yakin kamu sebenarnya mencintainya," Papa mengakhiri ceritanya dengan terkekeh. "Betul ya kamu mencintai dia diam-diam?"
Nina tersipu. Lalu buru-buru melengos.
Untuk apa juga harus tersipu? Bodoh.
Nina merutuk dalam hati.
"Eh, tau enggak, yang Papa salut lagi, waktu Papa bilang bahwa kamu sudah punya pacar...tahu tidak jawaban Gege apa?" Papa mengulum senyum, senang sekali dia bisa menggoda Nina.
Nina pura-pura tidak peduli.
"Makanya saya datang, takut keduluan pacar Nina melamar. Saya ke sini mau minta ijin menikahi Nina, saya sudah yakin mau menikah dengan Nina," Papa menirukan suara Gege, lengkap dengan sikap Gege yang tadi duduk tegang.
Nina tersenyum. Bukan kepada gaya Papa saat menirukan Gege. Tapi entah kenapa dia senang mendengar perkataan Gege itu. Rasa hangat yang tadi, tiba-tiba terasa kembali.
"Kamu kok kayanya suka juga dengan Gege?" Papa menangkap aura yang terpancar di wajah Nina.
Nina tersenyum. Terbersit pikiran ingin menjaili Papanya.
"Kalau Nina memilih Gege daripada Harvey? Papa mengijinkan enggak?"
"Papa setuju dua-duanya."
"Hah?" Nina terkejut sendiri. Senjata makan tuan!
"Kalau Harvey, Papa sedikit banyak sudah tahu orangnya, keluarganya. Kalau Gege... kenapa Papa sangat salut sama dia ya, feeling Papa dia orang yang baik."
***
Paginya Papa masih terus meledek soal lamaran Gege. Sekarang kubunya tambah anggota yaitu Mama.
Nina sebisa mungkin menanggapi sewajarnya.
Dari Nina keluar kamar, makan pagi hingga dia menghidupkan motornya, Papa Mama terus saja membicarakan Gege.
Sepanjang perjalanan ke kantor, Nina berusaha untuk tidak memikirkan itu. Dia sudah menimbang-nimbang semalam. Gege adalah masa lalu. Dia ingin masa depannya dengan Harvey.
"Bu Nina, ada titipan," penjaga kantornya mengulurkan satu kotak tempat makan berwarna biru.
"Dari siapa?"
"Pengirimnya bilang Ibu pasti sudah tahu."
Nina menerima dengan keheranan. Diintipnya ke dalam kotak itu. Lumpia!
Seketika Nina tersenyum, "terimakasih ya Pak."
Ternyata Harvey semanis itu.
Nina tak menyangka jika Harvey sangat memperhatikan dirinya, dia kira saat itu Harvey hanya iseng bertanya soal jajanan kesukaannya.
Dengan bergegas Nina mencapai ruangannya. Matanya tertuju pada sekuntum mawar pemberian Harvey tiga hari lalu, sudah agak layu meski Nina menyimpan di gelas yang diberi air.
Kotak biru itu segera dibuka. Empat buah lumpia montok tampak berjajar menggiurkan dengan seonggok cabe rawit hijau yang masih segar. Baunya langsung menggelitik.