Sampai sekarang tidak pernah ada penjelasan dari Harvey tentang kejadian di tempat parkir rumah makan tiga hari itu. Untuk meminta penjelasan pun, Nina malas.
Pikirannya dicurahkan semua kepada pekerjaan yang memang sedang membutuhkan konsentrasi lebih. Ada wacana Dewi mengambil cuti sementara, karena sakitnya ternyata benar-benar serius dan perlu penanganan lebih lanjut.
Sementara Gege masih rajin mengiriminya makanan. Dan Nina memakannya sampai habis seorang diri, disamping karena menghemat waktu untuk pergi ke kantin kantor, makanan yang dikirimkan pun kategori kesukaan Nina semua. Toh ini hanya makanan, tak ada kaitan dengan apa pun.
"Nina, tinggal sebentar dulu. Saya perlu bicara," Pak Andre berkata saat rapat baru saja selesai.
"Ya, Pak."
Sambil menunggu yang lain keluar dari ruang rapat, Nina merapikan notulensi yang ditulisnya selama rapat tadi dalam laptopnya.
Tak berapa lama Stefi masuk, mengambil duduk di depan Nina. Nina langsung menghentikan kegiatannya mengetik, menutup laptop dan menggeser ke sebelah kanannya, agar Stefi dan dirinya bisa lebih enak bila berkomunikasi.
"Nina, saya puas sekali dengan kerjamu selama menggantikan Dewi. Kemarin saya sudah diskusi panjang dengan Stefi, dan diputuskan kamu menggantikan Dewi, bagaimana menurutmu?" Pak Andre mulai bicara saat mereka hanya tinggal bertiga dalam ruang rapat.
"Sampai Bu Dewi masuk kembali, Pak?"
Pak Andre menggeleng, "kamu saya angkat jadi sekretaris saya mulai besok, sementara posisimu akan digantikaann...siapa, Stef?"
"Ana, Pak."
"Mungkin kurang lebih satu bulan kamu masih harus bagi waktu untuk mengajari Ana, setelah itu kamu fokus membantu semua pekerjaan saya."
"Iya, Pak."
"Good, hal yang lain, terkait hak dan kewajibanmu nanti kamu langsung dengan Stefi ya."
Nina mengangguk.
"Saya harap kamu bekerja sebaik sekarang untuk seterusnya, Nin," Pak Andre berdiri dari duduknya. "Silakan lanjutkan dengan Stefi."
"Iya, Pak. Terimakasih."
Pak Andre tersenyum dan mengangguk. Lalu melangkah pergi.
Nina tidak tahu, apakah harus bahagia atau apa sekarang ini. Menjadi sekretaris direktur, orang nomor satu di kantornya, diminta mengisi nominal gaji yang diinginkan. Tidak munafik kalau itu membuatnya berbunga.
Tapi reputasi kegalakan Pak Andre yang menjadi rahasia umum adalah tantangan tersendiri, yang mau tidak mau membuat hatinya agak ciut. Dia baru sebentar menggantikan Dewi, tapi memang sudah pernah melihat sendiri bagaimana Pak Andre marah atas kesalahan yang dilakukan oleh rekan lain tempo hari.
Ah, pasrah saja pada Tuhan, lakukan yang terbaik. Kamu bisa, Nin!
Nina mengepal tangan sembari menyemangati diri sendiri, sepanjang dia berjalan kembali ke ruangannya.
Nina mengambil telepon, segera dikabarkan berita ini kepada Papa dan Mama. Yang sudah tentu menyambut dengan antusias, dan seperti biasa, langsung berencana mengadakan perayaan. Walaupun nanti entah bisa terwujud dalam waktu dekat atau tidak. Nina cuma mengiyakan saja.
"Harvey sudah kamu kabarin?"
"Belum."
"Segera saja, pasti dia bahagia dengar kabar ini, bagaimana pun dia calon suami kamu."
"Ya," Nina menjawab pendek.
Nina melihat telepon genggamnya. Ada ragu untuk menelepon Harvey terlebih dahulu. Seharusnya Harvey sudah sejak malam itu meneleponnya, untuk menjelaskan semua.
Nina berharap gadis cantik itu hanya teman kerja Harvey, berharap bahwa teman-teman kantor Harvey yang lain sudah masuk ke rumah makan terlebih dahulu. Berharap bahwa waktu itu Harvey hanya berbaik hati memberikan tumpangan pada gadis cantik itu, rekan kerjanya, dan berbaik hati membukakan pintu mobil untuknya, dan berbaik hati untuk memegang lengan gadis cantik itu....
Ya Tuhan. Apa ini cemburu?
Mungkin.
Nina memandang langit-langit kantornya. Yang jelas dia merasa kecewa karena sampai sekarang Harvey seperti tiba-tiba menghilang, tanpa kontak sama sekali. Terlebih setelah dia memergoki Harvey dengan wanita cantik, di malam Harvey membatalkan makan malam dengannya.
"Halo."
Akhirnya Nina menelepon Harvey, dan tak perlu menunggu lama langsung menyambung.
'Hai, ada apa, Nin?'
Suara Harvey terdengar ringan saja.
"Mmmm...aku cuma mau kasih tahu, aku akan jadi sekretaris direktur mulai besok."
'Selamat ya.'
"Terima kasih."
Hening sejenak. Nina menunggu Harvey bicara dulu, mungkin ada yang mau dia katakan. Tapi suara disana hanya hembusan nafas saja.
"Soal sesuatu yang mau kubicarakan dulu dengan kamu...," akhirnya Nina bicara lagi.
'Iya Papamu sudah cerita ke Ayahku.'
"Apa?" Nina agak terkejut.
'Soal kamu dilamar orang kan?'