Ruwatan Misteri

Nurul Adiyanti
Chapter #1

Tradisi atau Petaka?

Gemerincing sembilan tusuk konde di balik tirai putih itu terdengar lagi, membelah lantunan doa dalam bahasa yang tidak ia mengerti. Suara itu tajam, seperti logam yang saling beradu di tengah keheningan, membuat bulu kuduk Ashana meremang.

"Jangan palingkan wajahmu, Nduk," desis sebuah suara parau di sebelahnya.

"Matamu harus lurus menatap uap kemenyan itu," Ashana menelan ludah.

"Baik, Mbah."

Padahal uap itu panas, mengepul dari anglo tanah liat yang membara, hawa dingin justru menusuk punggungnya yang hanya berbalut kemben. Keringat dingin membasahi pelipisnya, bukan karena gerah, melainkan karena rasa takut yang merayap dari ujung kakinya hingga ke atas. Ruangan sempit ini terasa sesak, dipenuhi aroma dupa yang pekat dan bau bunga melati yang anehnya mulai terasa memualkan.

"Ritual ini... apa benar-benar harus dilakukan, Mbah?" tanya Ashana, suaranya nyaris bergetar.

Lelaki tua yang dipanggil Mbah Jati itu tidak menoleh. Matanya yang keriput terpejam rapat, bibirnya terus komat-kamit.

"Kau ingin pernikahanmu lancar, kan? Kau mau terbebas dari nasib Sukerta-mu?"

"Saya mau, Mbah, tapi..."

"Tidak ada tapi," potong Mbah Jati, kali ini nadanya menekan.

"Garis keturunanmu itu rapuh karena anak tunggal, yaitu ontang-anting. Banyak yang iri dengan nasibmu dan ingin pernikahanmu hancur. Dan kesialan itu akan kau bawa sampai ke pelaminan, mau calon suamimu celaka?"

Pertanyaan itu menghantam Ashana telak. Ravindra, tentu saja Ashana tidak mau itu terjadi. Demi Ravindra, ia rela melakukan apa saja, bahkan duduk di ruangan pengap ini sambil mendengarkan suara-suara aneh.

"Tidak, Mbah. Saya tidak mau," jawabnya lirih.

"Bagus," Mbah Jati mengangguk puas.

"Maka patuhilah, leluhur sedang mengawasi, jangan buat mereka marah."

Leluhur? Ashana mencoba fokus pada asap kemenyan yang meliuk-liuk seperti penari, namun pikirannya melayang. Ia adalah desainer grafis yang hidup di tengah hiruk pikuk kota, logikanya menolak semua ini. Tapi desakan Neneknya dan ketakutan akan nasib buruk membawanya kemari.

Gemerincing itu terdengar lagi, kali ini lebih dekat, seolah-olah persis di belakang punggungnya. Spontan Ashana ingin menoleh.

"Sudah kubilang jangan bergerak!" sentak Mbah Jati. Matanya mendelik tajam.

"Dia sedang berkenalan dengan wadah barunya, kau membuatnya takut," Jantung Ashana serasa berhenti berdetak.

"Dia? Siapa yang Mbah maksud?"

Lihat selengkapnya