Napas Ashana tercekat di tenggorokan, jantungnya berdebar begitu kencang hingga terasa sakit di dada. Sosok di balik kain itu tidak bergerak, hanya tatapan dingin penuh kemenangan itu yang seolah menembus kain mori, menusuk langsung ke jiwanya. Ashana ingin berteriak, tetapi suaranya hilang. Ia ingin lari, tetapi kakinya seperti terpaku di lantai yang dingin.
Dengan gerakan panik yang kaku, ia menyambar pakaiannya, menariknya ke tubuhnya yang masih basah dan gemetar. Jemarinya kikuk saat mengancingkan blus, matanya tidak berani lepas dari cermin terselubung itu, takut jika ia berkedip, sosok itu akan menerobos keluar.
"Ini hanya halusinasi," bisiknya pada diri sendiri, suaranya parau dan bergetar.
"Aku mungkin efek terlalu kelelahan dan banyak menghirup asap kemenyan."
Ia meraih tasnya, memaksakan handuk basah itu ke dalamnya tanpa peduli, lalu bergegas menuju pintu. Ia tidak menoleh ke belakang lagi. Di belakangnya, keheningan ruangan itu terasa berat dan mengancam. Saat tangannya menyentuh gagang pintu kayu yang dingin, aroma melati yang tadi memualkan tiba-tiba menguar pekat, seolah ada yang mengembuskan napas bunga tepat di tengkuknya. Ia membanting pintu hingga tertutup dan berlari menyusuri lorong sempit rumah Mbah Jati, napasnya terengah-engah seperti baru saja dikejar anjing gila.
Dunia luar menyambutnya dengan deru motor dan klakson mobil yang sayup-sayup. Udara malam yang lembap terasa segar di paru-parunya. Normal. Semuanya normal. Ia menyalakan mesin mobilnya dengan tangan yang masih gemetar hebat, memaksa dirinya untuk fokus pada jalanan di depannya, bukan pada bayangan wajah pucat dengan sanggul sembilan tusuk konde yang terus berkelebat di benaknya.
Sesampainya di apartemen, ia mendapati ruangan itu gelap. Ravindra belum pulang, sebagian dirinya merasa lega, ia tidak perlu menjelaskan wajah pucat dan kondisinya yang kacau. Tapi sebagian lagi merasa takut. Kesendirian yang biasanya menenangkan kini terasa mencekam. Ia menyalakan semua lampu, dari ruang tamu hingga dapur, menciptakan cahaya terang yang menyilaukan untuk mengusir bayangan.
Teleponnya berdering, nama Ravindra tertera di layar. Ashana menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan suaranya sebelum menjawab.
"Halo, Sayang," sapanya, berusaha terdengar biasa.
"Hei, kamu sudah selesai ritualnya? Gimana?" suara Ravindra di seberang terdengar hangat dan sedikit lelah.
"Maaf ya, aku kayaknya pulang telat banget malam ini. Ada masalah mendadak di kantor."
"Oh." Ashana menelan ludah.
"Sudah, sudah selesai kok, nggak apa-apa, kamu selesaikan saja kerjaanmu."