Rasa gemetar menjalar dari telapak kaki Ashana, merayap naik ke tulang punggungnya saat matanya terpaku pada ilusi mengerikan di cermin. Sembilan tusuk konde perak itu melayang di udara, berkilau dalam cahaya redup kamar mandi, membentuk sanggul yang tak kasatmata. Udara di sekitarnya terasa menipis. Bau melati busuk itu kini menusuk lebih tajam, bercampur dengan aroma pembersih kaca yang tajam.
"Nggak," bisiknya, suaranya pecah. "Ini nggak mungkin."
Ia mundur selangkah, kakinya yang telanjang tersandung botol sampo yang terguling di lantai. Bunyi plastik yang berdebum di ubin terdengar memekakkan telinga dalam keheningan yang mencekik. Ia terhuyung, tangannya menekan dinding yang dingin untuk menahan diri agar tidak jatuh. Ia memejamkan mata erat-erat, berharap saat ia membukanya lagi, semua akan kembali normal.
Di tengah kepanikan itu, sebuah suara terdengar klik Suara kunci dimasukkan ke lubang pintu depan apartemen. Jantung Ashana serasa ingin lepas dari tempatnya, dan ternyata yang datang ialah Ravindra.
"Sayang, aku pulang!" Suara Ravindra yang familier menggema dari ruang depan, memecah kesunyian yang mengerikan.
Dengan sisa tenaga, Ashana memaksa dirinya menjauh dari kamar mandi, menutup pintunya rapat-rapat seolah sedang mengurung monster. Ia berlari kecil ke ruang tamu, berusaha mengatur napasnya yang tersengal. Ravindra berdiri di ambang pintu, melepas sepatunya dengan gerakan lelah. Wajahnya tampak kusut, tapi senyumnya merekah begitu melihat Ashana.
"Hei, kok belum tidur?" Ashana memaksakan seulas senyum.
"Nungguin kamu,"
Ravindra berjalan mendekat, merengkuhnya dalam pelukan hangat yang beraroma kopi dan sedikit asap rokok. Pelukan itu seharusnya menenangkan, tetapi tubuh Ashana masih kaku karena teror.
"Kamu kenapa?" tanya Ravindra, melepaskan pelukannya untuk menangkup wajah Ashana. Alisnya berkerut cemas.
"Pucat banget, Sayang. Kamu gemetaran,"
"Nggak apa-apa," dusta Ashana, suaranya sedikit bergetar.
"Aku... hanya kedinginan aja,"
"Kedinginan? AC-nya kan nggak terlalu dingin," Ravindra menempelkan punggung tangannya ke dahi Ashana.
"Nggak demam sih, ini pasti gara-gara ritual aneh itu. Aku udah bilang kan, itu hanya bikin kamu capek dan stres,"
"Mungkin," sahut Ashana lirih, tidak berani menatap mata Ravindra. Ia takut Ravindra akan melihat sisa kengerian di sana.
Ravindra menertawakan kecemasannya dengan lembut, sebuah tawa yang dimaksudkan untuk menghibur tapi justru terasa seperti meremehkan.
"Ini nih, yang namanya stres pra-nikah. Dulu kakakku juga gini, lihat bayangan aneh di mana-mana, kamu hanya butuh istirahat yang cukup, oke?"
Ashana diam, tidak bisa menjelaskan bayangan yang ia lihat. Bagaimana ia bisa menceritakan tentang sanggul tanpa kepala atau tusuk konde yang melayang? Ravindra akan menganggapnya gila.
"Iya, mungkin aku hanyaa kecapekan," katanya akhirnya, menelan bulat-bulat kebenaran yang pahit.
"Nah, gitu dong." Ravindra mengecup keningnya.
"Yuk, tidur. Lupakan soal ruwatan, besok kan ada acara bridal shower sama teman-temanmu. Kamu harus kelihatan cantik." Ashana mengangguk. Di apartemen itu tentunya mereka tidak tidur bersama, Ravindra memilih untuk tidur di ruang tamu.
Malam itu Ashana tidak bisa tidur, Ia hanya berbaring dan menatap langit-langit kamar saja. Tapi setiap kali Ashana memejamkan mata, bayangan sembilan tusuk konde perak itu kembali muncul di benaknya.