Hening yang pecah itu terasa lebih bising daripada tawa mereka beberapa saat lalu. Garpu Mita yang terangkat ke udara membeku di tempat. Mata Gea membelalak, bergantian menatap Ayuni yang terkulai dan Ashana yang pucat pasi.
"Apa-apaan tadi?" desis Mita, menjadi yang pertama memecah kebisuan.
"Ayuni, lo ngomong apa, sih?" Ayuni mengerjap beberapa kali, seperti orang yang baru tersadar dari tidur yang sangat dalam.
"Hah? Ngomong apa?" Wajahnya tampak bingung dan polos.
"Kepalaku sakit banget,"
"Lo... tadi ngomong aneh," sahut Gea, suaranya bergetar.
"Kayak bukan suara lo," Hilda segera merogoh tasnya, mengeluarkan sebotol minyak angin.
"Kamu kecapekan banget pasti, Yun," katanya dengan nada panik yang dibuat-buat, sambil mengoleskan minyak itu ke pelipis Ayuni.
"Kita anterin pulang aja, ya?"
"Nggak! Dia nggak kecapekan!" potong Ashana, suaranya lebih tajam dari yang ia niatkan. Semua mata kini tertuju padanya. Ia menarik napas, mencoba mengendalikan diri.
"Maksudku... ya, mungkin dia cuma kecapekan. Terlalu banyak begadang karena kadang sampai kerja lembur, nggak ada apa-apa, kok,"
"Nggak ada apa-apa?" ulang Mita tak percaya.
"Shana, dia tadi bilang takdir lo mau diambil! Itu bukan obrolan orang kecapekan biasa!"
"Mita, cukup," kata Ashana tegas. Ia bangkit dari kursinya.
"Acara bridal shower ini udah selesai ya, makasih buat kado dan semuanya. Aku antar Ayuni pulang sekarang."