Cengkeraman dingin di jiwanya melonggar sekejap, cukup untuk mengembalikan kendali atas otot-otot wajahnya. Ravindra mendekat, matanya penuh cinta, Ashana tidak punya pilihan. Ia memejamkan mata dan merasakan bibir Ravindra yang hangat menyentuh bibirnya yang sedingin es. Ciuman itu terasa asing, seperti ia sedang mencium orang lain, atau lebih tepatnya, seperti bibirnya sendiri bukan lagi miliknya. Blitz kamera menyilaukan kelopak matanya yang tertutup. Tepuk tangan riuh membahana di seluruh ruangan, tapi di telinga Ashana, suara itu terdengar jauh dan teredam. Pesta resepsi berjalan seperti dalam mimpi buruk yang kabur. Senyum terasa kaku di wajahnya, tawa terdengar seperti gema dari sumur yang dalam. Satu per satu tamu menyalaminya, mengucapkan selamat, tapi yang ia rasakan hanya sentuhan-sentuhan dingin di kulitnya.
"Selamat ya, Shana, Rav! Akhirnya sah juga kalian!" seru seorang teman lama.
"Makasih," jawab Ashana mekanis.
"Jangan lupa cepet kasih kita ponakan!" timpal yang lain sambil tertawa.
Ravindra merangkul pinggangnya lebih erat, menjawab semua lelucon dengan tawa hangat yang membuat Ashana semakin merasa terasing.
"Pasti, doain aja ya!"
Ashana melirik ke arah sahabat-sahabatnya. Gea dan Mita tersenyum bahagia, meski Mita sesekali menatapnya dengan tatapan bertanya. Ayuni terlihat gelisah, lebih sering menunduk, dan Hilda tampak begitu anggun dan tenang, memberinya senyum manis yang entah kenapa terasa penuh rahasia. Waktu berjalan dengan sangat lambat, hingga akhirnya musik terakhir dimainkan, dan para tamu terakhir berpamitan.
"Capek banget, ya, ternyata," keluh Ravindra saat mereka akhirnya sendirian di lift yang membawa mereka ke presidential suite.
"Tapi aku nggak pernah sebahagia ini, Sayang,"
"Iya," jawab Ashana singkat, matanya menatap pantulan mereka di dinding cermin lift. Ia dan Ravindra. Sepasang pengantin. Tapi di belakang bayangannya, ia seolah bisa melihat siluet tipis sanggul hijau yang menjulang.
Pintu suite terbuka, menampilkan ruangan luas yang mewah. Kelopak mawar merah ditebar di atas lantai marmer, memandu jalan menuju ranjang besar yang juga dihiasi taburan bunga. Sebotol sampanye dingin menanti di atas meja kecil.
"Wow," desah Ravindra, matanya berbinar.
"Mereka benar-benar mempersiapkan semuanya." Dia melepaskan jasnya dan melemparkannya ke sofa.
"Gimana, Nyonya Ravindra? Suka dengan istana kita malam ini?"
"Bagus," gumam Ashana. Hawa dingin dari pendingin ruangan terasa menggigit, atau mungkin dingin itu berasal dari dalam dirinya. Aroma mawar yang seharusnya romantis terasa memabukkan, bercampur dengan hantu bau melati yang seolah menempel di hidungnya.
"Cuma bagus?" Ravindra berjalan mendekat, memeluknya dari belakang dan menyandarkan dagunya di bahu Ashana.
"Harusnya kamu bilang, 'Sempurna sekali, suamiku tersayang' gitu," Ashana mencoba tertawa, tapi yang keluar hanya suara serak.
"Iya deh, sempurna, Rav,"
"Aku mandi duluan, ya," bisik Ravindra di telinganya, napasnya terasa hangat.