Ruwatan Misteri

Nurul Adiyanti
Chapter #6

Ravindra yang Tak Tahu

Rasa itu seperti ditarik paksa melalui lubang jarum yang sempit, jiwanya yang melayang di sudut ruangan tiba-tiba tersedot kembali ke dalam raga yang terasa asing dan dingin. Ashana tersentak, kelopak matanya terbuka, menatap langit-langit kamar suite yang temaram. Napasnya memburu, dadanya terasa berat seolah habis berlari maraton. Ia kembali ke dalam tubuhnya yang semalam sempat dipakai oleh sosok berkebaya hijau dengan wajah hancur itu, kembali ke dalam tubuh yang baru saja dinodai.

Rasa jijik yang luar biasa menjalari setiap sel tubuhnya. Ia bisa merasakan sisa-sisa sentuhan Ravindra di kulitnya, kehangatan napas suaminya yang tertidur pulas di sebelahnya. Kehangatan itu tidak memberinya rasa nyaman, justru terasa seperti bara api yang membakar. Ia menoleh perlahan, wajah Ravindra tampak begitu damai, seulas senyum tipis terukir di bibirnya bahkan dalam tidurnya. Lelah dan bahagia, rasanya Ashana ingin menangis, berteriak, mengguncang tubuh itu hingga bangun dan menceritakan segalanya. Tapi pesan terakhir dari sosok arwah itu adalah… ‘Kau hanya bayangan’ menggema di benaknya seperti kutukan, melumpuhkan seluruh niatnya.

Ia turun dari ranjang dengan gerakan sepelan mungkin, tidak ingin membangunkan Ravindra. Kakinya menapak di lantai marmer yang dingin, membuatnya menggigil. Setiap inci kulitnya terasa kotor. Ia berjalan gontai menuju kamar mandi, menyalakan pancuran dengan air dingin dan berdiri di bawahnya tanpa melepas sehelai benang pun. Air sedingin es itu menghantam tubuhnya, tapi tidak mampu membasuh rasa nista yang sudah meresap hingga ke tulang.

"Pagi, Nyonya Ravindra,"

Ashana tersentak kaget. Ia tidak sadar sudah berapa lama berdiri di sana. Suara Ravindra terdengar dari ambang pintu kamar mandi. Ia menoleh, dan suaminya berdiri di sana, hanya mengenakan celana pendek, tersenyum lebar.

"Kamu ngapain mandi subuh-subuh begini? Dan... pakai baju?" tanya Ravindra, alisnya terangkat bingung bercampur geli.

"Aku... gerah," dusta Ashana, suaranya serak. Ia mematikan pancuran.

"Gerah? Semalam kamu bilang kedinginan terus, lho." Ravindra melangkah masuk, mengambil handuk kering dari rak dan menyampirkannya ke bahu Ashana yang basah kuyup.

"Kamu aneh banget pagi ini. Kenapa, Sayang?"

"Nggak apa-apa, Rav. Cuma... capek banget," jawab Ashana, menghindari tatapan mata Ravindra.

"Pasti capek, semalam kan kita... kerja keras," Ravindra terkekeh, menarik Ashana ke dalam pelukannya.

Pelukan itu terasa seperti kurungan. Aroma tubuh Ravindra yang biasanya ia sukai kini membuatnya mual.

"Rav, lepas, bajuku basah semua,"

"Biarin," Ravindra malah mengeratkan pelukannya.

"Aku masih belum puas, tahu nggak?" bisiknya di telinga Ashana.

"Kamu semalam... liar banget. Aku nggak nyangka kamu bisa seagresif itu," Jantung Ashana serasa diremas, agresif dan liar itu bukan dirinya.

"Rav, aku mau ganti baju." Ravindra akhirnya melepaskan pelukannya, meski dengan sedikit enggan.

"Oke, oke. Tapi setelah ini kita sarapan di ranjang, ya? Aku pesan room service." Ia menatap Ashana dari atas ke bawah, senyumnya sedikit memudar.

"Kamu pucat banget, seperti habis lihat hantu," Ashana membeku.

"Aku cuma kurang tidur,"

"Ya sudah, cepat ganti baju, aku tunggu di luar." Ravindra memberinya kecupan singkat di pipi yang terasa dingin sebelum berjalan keluar.

Sepeninggal Ravindra, Ashana berdiri di depan cermin besar di atas wastafel. Pantulan dirinya menatap balik dengan mata sembap dan wajah tanpa warna. Ia menelusuri garis wajahnya dengan jari gemetar. Ini wajahnya, ini tubuhnya, tapi rasanya seperti milik orang lain. Milik penyewa yang kejam.

Tiba-tiba, pantulan di cermin itu berubah. Di belakang bayangannya, sosok Pengantin berkebaya hijau itu muncul perlahan dari kegelapan. Wajahnya pucat dan hancur mengerikan, sanggul kuning itu tertata sempurna. Ia tidak tersenyum, namun matanya menatap lurus ke arah Ashana, dingin dan penuh peringatan. Bibir pucat di cermin itu bergerak tanpa suara, membentuk kalimat yang langsung menusuk ke dalam pikiran Ashana.

'Kau pikir semua sudah selesai? Ini baru permulaan,'

Lihat selengkapnya