"Rav, aku..." Kata-kata Ashana mati di tenggorokannya, tercekik oleh aroma busuk melati yang tiba-tiba menyesakkan seisi ruangan.
"Listriknya kenapa, nih?" ulang Ravindra, menepuk-nepuk sakelar di dinding yang tidak merespons. Lampu gantung kristal di atas mereka berkedip-kedip liar seperti mata monster yang gelisah.
Ashana mundur selangkah, jantungnya berdentum-dentum di rusuknya, setiap kedipan lampu terasa seperti tamparan peringatan.
'Tidak! Jangan sekarang!'
'Maka jangan bicara tentang rahasia kita!'
Pesan itu menusuk benaknya.
Jangan.
"Mungkin korslet," ucapnya, suaranya nyaris tak terdengar di antara dengung listrik yang ganjil.
"Biarin aja, Rav. Nanti juga normal lagi," Ravindra berbalik, menatapnya dengan kening berkerut dalam keremangan yang berkedip-kedip.
"Kamu kok pucat banget? Bau apa ini? Kayak bunga busuk,"
"Nggak tahu," dusta Ashana cepat.
"Mungkin... mungkin sisa bunga-bunga dekorasi kemarin, aku buang aja, ya."
Tanpa menunggu jawaban, ia bergegas memunguti beberapa kuntum mawar dari vas di meja, menjadikannya kambing hitam. Saat ia membalikkan badan, lampu kembali menyala normal. Keheningan yang tiba-tiba terasa lebih menakutkan daripada kebisingan tadi. Aroma melati busuk itu pun perlahan menipis, seperti hantu yang menarik napasnya kembali, Ravindra menghela napas lega.
"Nah, udah bener. Aneh banget hotel semahal ini listriknya main-main," Ia menatap Ashana lagi.
"Jadi, tadi kamu mau ngomong apa? Katanya penting?" Ashana meremas tangkai mawar di tangannya hingga durinya menusuk telapaknya. Rasa sakit yang tajam itu membantunya fokus.
"Nggak," katanya sambil memaksakan seulas senyum.
"Aku cuma mau bilang... aku cinta banget sama kamu, itu aja," Jawaban itu memuaskan Ravindra. Senyumnya kembali merekah. Ia menarik Ashana ke dalam pelukan.
"Aku juga cinta kamu, Nyonya Ravindra, lebih dari apa pun."
Di dalam pelukan suaminya, Ashana tahu ia tidak akan pernah bisa mengatakannya. Ia sendirian dalam pertarungan ini.
_
"Jadi, gimana malam pertamanya? Bintang lima? Atau langsung kasih sepuluh?" tanya Mita sambil mengaduk es lemon tehnya dengan antusias.
Ashana hanya tersenyum tipis, mencoba terlihat seperti pengantin baru yang bahagia. Mereka duduk di sudut sebuah restoran yang ramai, cahaya matahari sore menerobos jendela besar, menciptakan suasana yang hangat dan normal. Sangat kontras dengan dunianya yang remang dan dingin.
"Mita, apaan sih pertanyaannya!" tegur Ayuni pelan dari seberangnya. Ia tidak menyentuh makanannya sama sekali. Wajahnya lebih pucat dari biasanya.
"Nggak sopan, tahu,"
"Ya elah, Yun, kayak sama siapa aja," balas Mita enteng.
"Gue kan cuma penasaran, si Ashana ini kelihatan lemes banget. Pasti semalem tenaganya habis,"
"Aku cuma kurang tidur," sahut Ashana cepat. Ia sengaja menelepon mereka berdua pagi tadi, dengan alasan ingin mentraktir dan berbagi cerita. Alasan sebenarnya, ia butuh jangkar. Ia perlu melihat wajah-wajah yang dikenalnya, mendengar suara-suara yang normal, setelah malam yang merenggut kewarasannya. Terutama Ayuni. Ia perlu tahu apa yang terjadi pada Ayuni.
"Kamu kenapa, Yun? Kok pucat gitu?" Ayuni mengangkat wajahnya. Lingkaran hitam di bawah matanya terlihat jelas.