Rasa dingin itu merayap dari pergelangan tangannya, menjalari lengannya seperti bisa ular. Bukan dingin biasa, ini adalah rasa dingin dari sesuatu yang telah lama mati, dingin yang menyedot kehangatan dan kehidupan. Ashana menjerit, bukan suara teriakan yang keras, tapi pekikan tertahan yang tercekat di tenggorokan saat ia meronta. Cengkeraman itu begitu kuat, jari-jari kurus yang tak terlihat di dunia nyata itu terasa seperti baja yang membekukan tulangnya.
"Lepaskan!" pekiknya.
Pulpen yang ia genggam jatuh ke lantai dengan bunyi kelontang yang nyaring.
"Shana?" Suara Ravindra dari kamar mandi terdengar kaget, diikuti oleh suara pintu yang terbuka.
"Ada apa, Sayang? Kamu teriak?"
Seketika, cengkeraman sedingin es itu lenyap. Lenyap begitu saja, meninggalkan denyut nyeri dan hawa dingin yang menusuk di pergelangan tangannya. Ashana terkesiap, menarik tangannya ke dada seolah baru saja lolos dari perangkap binatang buas. Ia terduduk lemas di lantai, napasnya memburu. Ravindra keluar dari kamar mandi, hanya mengenakan handuk di pinggangnya.
"Kamu kenapa?" tanyanya panik, matanya menyapu seisi kamar sebelum berhenti pada Ashana yang gemetar di lantai.
"Ya Tuhan, Ashana! Kamu jatuh?"
"Aku... aku..." Ashana tidak bisa merangkai kata. Ia menatap kosong ke celah di antara bingkai lukisan dan dinding. Tidak ada apa-apa di sana. Ravindra berlutut di sampingnya, meraih kedua bahunya.
"Kamu pucat banget, tanganmu kenapa kamu pegangin terus?" Tanpa menunggu jawaban, ia menarik lembut pergelangan tangan Ashana.
Di sana, di kulitnya yang putih, melingkar bekas cengkeraman berwarna merah padam. Jejak lima jari kurus yang tercetak dengan begitu jelas, seolah baru saja ditekan dengan besi panas.
"Astaga! Ini kenapa, Shana?" tanya Ravindra, matanya membelalak.
"Merah banget kayak gini,"
"Dia..." bisik Ashana.
"Dia megang aku, Rav," Ravindra mengerutkan kening.
"Dia siapa? Nggak ada siapa-siapa di sini. Jangan-jangan ini bekas kamu garuk sendiri pas tidur tadi malam? Kena gigit nyamuk mungkin?"
"Bukan!" sergah Ashana, frustrasi.
"Ini bukan bekas garukan, Rav! Lihat bentuknya! Ini bekas jari!" Ravindra meneliti bekas itu lagi, lalu menghela napas panjang.
"Sayang, dengerin aku," Ia menatap Ashana dengan sorot mata yang berusaha sabar.
"Mungkin tanganmu cuma kesemutan atau kram pas mau angkat lukisan ini, kadang kalau ditekan, bekasnya bisa aneh, kamu kecapekan banget beberapa hari ini,"
Ashana menatapnya tak percaya. Suaminya melihat bukti fisik di depan matanya dan memilih penjelasan yang paling tidak masuk akal.
"Udah, ya? Yuk, bangun," Ravindra membantunya berdiri.
"Lukisannya biar aku aja yang pasang lagi, kamu istirahat,"
Malam itu, Ashana tahu ia telah mencapai batasnya, Ia tidak bisa melawan ini sendirian.
Keesokan paginya, ruang tamu apartemen Ashana terasa sesak oleh ketegangan. Mita, Gea, Ayuni, dan Hilda duduk melingkar di sofa. Wajah Ravindra yang bertanya-tanya sudah ia usir dengan alasan ada rapat arisan mendadak yang sangat penting.
"Oke, jadi lo ngumpulin kita semua pagi-pagi gini buat apa?" tanya Mita, menjadi yang pertama memecah kebisuan.
"Mana mukamu udah kayak kertas lecek gitu," Gea menyikutnya.
"Hussh, Mit. Shana lagi ada masalah kayaknya," Hilda menimpali dengan suara lembutnya.
"Iya, Shana, cerita aja sama kita, kamu kenapa?" Ashana menarik napas dalam-dalam.