Ruwatan Misteri

Nurul Adiyanti
Chapter #11

Kesialan di Rajah

Suara tawa serak yang menipis bersama angin malam itu meninggalkan jejak dingin di tulang punggung Ashana, jauh lebih menakutkan daripada keheningan yang mengikutinya. Di ruang tamu yang terasa menyusut, keempat sahabatnya terpaku. Ayuni masih terkulai di sofa, napasnya dangkal. Gea dan Hilda menatap Mita dengan horor.

"Gue nggak main-main," desis Mita, mengacungkan pulpen itu sekali lagi seolah menyegel sumpahnya. "Besok pagi, di sini."

_

Bel pintu yang berbunyi nyaring dan menusuk menyentak Ashana dari tidurnya yang gelisah, Ia segera turun dari ranjang sembari melihat ke arah jam di dinding baru menunjukkan pukul tujuh pagi, Ravindra sudah berangkat setengah jam yang lalu untuk rapat pagi, jantung Ashana berdebar kencang, Ia tahu siapa yang datang.

Ia membuka pintu, Mita berdiri di sana, mengenakan jeans dan kaus hitam sederhana, tetapi wajahnya menunjukkan tekad seorang prajurit yang akan maju ke medan perang. Matanya sedikit merah, jelas ia juga tidak tidur nyenyak, di tangannya, ia membawa tas jinjing yang tampak menggembung.

"Pagi," kata Mita singkat, melangkah masuk tanpa menunggu dipersilakan.

"Mit, lo beneran mau ngelakuin ini?" tanya Ashana, suaranya parau karena kurang tidur.

"Menurut lo?" Mita meletakkan tasnya di atas meja kopi dengan bunyi gedebuk.

Ia membukanya, isinya bukan perlengkapan biasa. Ada sekaleng cat semprot hitam, beberapa spidol permanen berukuran besar, dan palu kecil.

"Gue bawa peralatannya,"

"Ya Tuhan, Mit! Lo mau ngapain pake palu?" pekik Ashana tertahan.

"Jaga-jaga," sahut Mita datar.

"Kalau spidol nggak mempan, gue ancurin sekalian bingkainya biar nggak ada tempat buat dia sembunyi," Ia menatap Ashana tajam.

"Lo siap?"

Ashana menelan ludah, menatap bergantian antara wajah Mita yang keras dan lukisan di dinding yang tampak begitu normal di bawah cahaya pagi.

"Aku... aku takut, Mit. Semalem aku mimpi buruk lagi, soal perempuan nangis darah itu,"

"Justru itu!" balas Mita.

"Kita nggak bisa nungguin dia nyerang duluan terus, kita harus lawan, Shana, hari ini juga," Ia mengeluarkan spidol permanen paling besar dari tasnya, membukanya dengan bunyi klik yang tegas. Aroma tajam dari tintanya langsung menguar di udara.

"Ayo, tunjukin di mana letaknya,"

Dengan langkah berat, Ashana mendekati lukisan abstrak itu. Tangannya gemetar saat mengangkatnya dari dinding dan menyandarkannya, memperlihatkan bagian belakang bingkai kayu yang polos kecuali satu ukiran jahat di tengahnya. Rajah itu seolah menatap mereka balik, menyeringai dalam keheningannya.

"Oke," gumam Mita, berlutut di depan bingkai.

"Jadi ini sarang setannya,"

"Mit, tunggu," cegah Ashana, tangannya terulur menahan bahu Mita.

"Pikirin lagi, please, kata Ayuni... maksudku kata arwah itu lewat Ayuni... dia bakal dateng pas Jumat Kliwon. Kalau kita lakuin ini sekarang, gimana kalo itu malah memancing dia? Bikin dia dateng lebih cepet?"

"Bagus!" jawab Mita tanpa menoleh.

Lihat selengkapnya