Ruwatan Misteri

Nurul Adiyanti
Chapter #12

Pengantin di Balik Cermin

Ponsel itu terlepas dari genggamannya yang lemas, jatuh ke karpet tebal dengan bunyi tumpul yang nyaris tak terdengar. Suara di seberang masih memanggil namanya.

"Ibu Ashana? Halo?"

Tapi Ashana tidak lagi mendengarnya. Dunia di sekelilingnya menyempit menjadi lorong gelap yang berdengung, dan di ujung lorong itu, hanya ada tiga kata yang terus bergema: koma... terbakar... kritis.

Satu hari setelah mendengar kabar itu dan sempat menceritakan pada Ravindra semua kejadian tentang Mita yang telah merusak lukisan itu, Ravindra pun memutuskan untuk menjenguk Mita.

"Sayang, aku jenguk Mita dulu ya," suara Ravindra terdengar dari ambang pintu kamar.

Ashana tidak menoleh, Ia masih menatap kosong ke dinding tempat lukisan itu tergantung. Noda hitam bekas spidol Mita tampak seperti lubang hitam yang telah menelan sahabatnya.

"Ashana?" Ravindra mendekat, menyentuh bahunya.

"Kamu nggak apa-apa?" Sentuhan itu menyentakkannya kembali.

"Aku ikut," jawab Ashana, suaranya serak dan asing.

"Aku harus ikut ke rumah sakit,"

"Kamu yakin?" tanya Ravindra ragu.

"Kamu kelihatan... kacau banget dari kemarin, mungkin lebih baik kamu istirahat di sini,"

"Aku harus lihat dia, Rav," potong Ashana tegas, menatap suaminya dengan sorot mata yang membuat Ravindra terdiam.

"Sekarang."

_

Udara di koridor rumah sakit terasa berat, dipenuhi aroma antiseptik yang tajam dan duka yang tak terucap. Setiap langkah menuju Ruang ICU terasa seperti berjalan di atas pecahan kaca. Ravindra menggenggam tangannya, mencoba memberinya kekuatan, tapi genggaman itu terasa sia-sia. Tidak ada kekuatan yang bisa menembus lapisan es dari rasa bersalah yang membungkus Ashana. Seorang perawat menahan mereka di depan pintu kaca.

"Hanya satu orang yang boleh masuk bergantian, dan tidak boleh lama,"

"Saya suaminya," dusta Ravindra cepat agar Ashana bisa masuk. Perawat itu mengangguk.

"Silakan, Bu. Lima menit saja ya."

Di dalam, dunia terasa melambat. Hanya ada suara desis ventilator dan bip monoton dari mesin pemantau detak jantung. Mita terbaring di tengah-tengah semua itu, nyaris tidak bisa dikenali. Hampir seluruh tubuhnya dibalut perban putih tebal, menyisakan sedikit bagian wajahnya yang membengkak dan memerah karena luka bakar. Selang-selang masuk ke hidung dan mulutnya, matanya tertutup rapat.

"Mit..." bisik Ashana, air matanya akhirnya jatuh tanpa suara.

"Maafin aku... Ini semua salahku."

Suara mesin yang monoton itu seolah menertawakan penyesalannya. Ashana mengulurkan tangan, ingin menyentuh sahabatnya, tetapi ia tidak tahu bagian mana yang tidak akan terasa sakit. Jarinya hanya melayang di udara. Ia yang menyuruh Mita datang, Ia yang membiarkan Mita mencoret rajah itu.

Setelah lima menit yang terasa seperti selamanya, ia keluar. Wajahnya pucat seperti kertas.

"Gimana kondisinya?" tanya Ravindra cemas.

"Seperti yang mereka bilang," jawab Ashana lirih. Ia menyandarkan punggungnya ke dinding koridor yang dingin.

"Polisi bilang apa soal rem mobilnya?"

"Aku sudah bicara sama polisi tadi," kata Ravindra pelan.

Lihat selengkapnya