Sembilan tusuk konde perak itu seolah menusuk langsung ke matanya, membekukan darah di pembuluhnya. Ashana tidak bisa memalingkan wajah dari foto usang itu, wanita di dalam situ wajahnya sangat mirip dengannya, tersenyum dengan senyum yang sama persis seperti yang ia lihat di pantulan lensa kamera dan cermin kamar pengantinnya, senyum kemenangan.
"Nduk? Kamu masih di situ?" Suara Neneknya yang serak terdengar dari dalam rumah, diiringi bunyi gesekan sandal di lantai tekel.
Jantung Ashana serasa akan lepas dari tempatnya ketika mendengar suara itu sebelum Neneknya datang. Dengan gerakan cepat, ia tidak mengembalikan foto itu ke laci. Ia menyelipkannya di antara lipatan kain batik yang ada di tangannya, lalu dengan cepat memasukkannya ke dalam tas jinjingnya yang besar. Ia membanting laci hingga tertutup, menimbulkan suara debuman yang keras.
"Ashana cuma mau ambil minum, Nek," teriaknya, suaranya sedikit bergetar.
"Ya sudah, ambil sendiri di dapur." Sahut Neneknya dari dalam, suaranya terdengar menjauh.
Ashana tidak pergi ke dapur, Ia meraih kunci mobilnya dari atas meja, merasa seperti pencuri di rumah keluarganya sendiri. Foto itu terasa panas di dalam tasnya, seperti bara api yang membakar.
"Nek, Ashana pulang dulu!" teriaknya sambil berjalan cepat menuju pintu depan.
"Tiba-tiba ada urusan mendadak dari kantor!"
Tidak ada jawaban, mungkin Neneknya tidak dengar atau memang tidak peduli. Ashana tidak menunggu lebih lama lagi dan segera berjalan cepat untuk masuk ke dalam mobil, menyalakan mesinnya, dan tancap gas meninggalkan halaman berkerikil itu, meninggalkan pohon mangga yang rindang dan sebuah rahasia yang baru saja ia curi.
***
Satu hari kemudian, udara di kamar rawat Ayuni terasa tipis dan berbau obat. Sahabatnya itu terbaring pucat di ranjang, tapi setidaknya ia sudah sadar dan bisa bicara, meskipun suaranya lemah, Gea dan Hilda baru saja pamit pulang setelah menemaninya seharian.
"Kamu yakin nggak apa-apa aku tinggal berdua sama Ashana?" tanya Gea cemas sebelum pergi.
"Nggak apa-apa," jawab Ayuni, memaksakan seulas senyum.
"Aku udah lebih baik." Kini hanya tinggal mereka berdua, keheningan di antara mereka semakin terasa canggung. Ashana duduk di kursi samping ranjang, tangannya menggenggam tali tasnya begitu erat hingga buku-buku jarinya memutih.
"Gimana perasaanmu?" tanya Ashana pelan, memecah kebisuan.
"Lebih baik," bisik Ayuni.
"Udah nggak sesak napas, hanya saja... leherku masih sakit banget," Ia menyentuh bekas cengkeraman di lehernya yang masih membiru.
"Dan rasanya masih ada sisa dingin di dalam tubuhku, Shana, seperti sesuatu yang nggak mau pergi," Ashana menelan ludah.
"Yun, ada sesuatu yang harus kamu lihat," Ayuni menatapnya dengan kening berkerut.
"Lihat apa? Jangan bilang kamu bawa spidol lagi kayak Mita,"
"Bukan," Dengan tangan gemetar, Ashana membuka tasnya. Ia menarik keluar foto usang berbingkai kayu itu dan menyodorkannya pada Ayuni.
"Aku nemu ini di rumah Nenekku," Ayuni meraih foto itu dengan ragu. Matanya menyipit saat meneliti gambar sepia yang memudar.
"Siapa ini, Shana? Leluhurmu?" tanyanya. Lalu ia menatap Ashana, lalu kembali ke foto itu.
"Lho? Kok... kok mirip banget sama kamu?"
"Aku juga mikir gitu," sahut Ashana, jantungnya berdebar kencang.