Ruwatan Misteri

Nurul Adiyanti
Chapter #15

Kontak dengan Dukun Sepuh

Napas Ashana tercekat seolah membeku di paru-parunya. Pertanyaan Ravindra yang polos dan lugu itu terasa lebih menusuk daripada belati. 'Baru dari makam?' Ia ingin tertawa, atau mungkin juga sedih. Seluruh apartemen ini sudah seperti makam berjalan.

"Parfum baru," jawab Ashana cepat, sedikit terlalu cepat. Ia melepaskan diri dari rengkuhan Ravindra, berjalan ke arah meja makan dengan gerakan kaku.

"Aku... aku coba sampel parfum baru. Aromanya melati, mungkin terlalu kuat, ya? Aku ganti besok," Ravindra mengikutinya, menatapnya dengan tatapan lelah tapi penuh sayang.

"Oh. Kirain kenapa." Ia mengusap tengkuknya.

"Iya, kuat banget, Sayang. Bikin pusing kepala, lebih enak wangi kamu yang biasa,"

"Iya, maaf," Ashana meraih tasnya.

"Aku... aku mau siap-siap tidur, capek banget,"

"Oke," sahut Ravindra.

"Aku mandi sebentar," Ia mengecup kening Ashana sekilas sebelum melangkah menuju kamar.

"Jangan kangen,"

Ashana menunggu hingga suara pancuran air dari kamar mandi terdengar. Jantungnya berdebar begitu kencang seolah akan meledak. Ia langsung menyambar ponselnya, jarinya yang gemetar kesulitan membuka daftar kontak. Gea. Ia menekan tombol panggil, menempelkan ponsel itu ke telinganya yang dingin.

"Halo, Shana? Tumben malem-malem telepon?" Suara Gea di seberang terdengar mengantuk.

"Ge, gawat!" desis Ashana, suaranya nyaris berbisik.

"Aku butuh bantuan kalian, kamu dan Hilda di mana?"

"Aku di rumah, Hilda juga kayaknya, kenapa? Ada apa lagi?" Nada suara Gea langsung berubah cemas.

"Aku udah nggak kuat lagi," isak Ashana tertahan, air matanya mulai menggenang.

"Ravindra barusan pulang. Dan... dan dia bisa cium baunya, bau melati itu. Dia tanya aku habis dari kuburan atau nggak,"Terdengar helaan napas tajam dari Gea.

"Sialan, jadi arwah itu makin nempel sama lo?"

"Bukan itu aja, Ge!" lanjut Ashana panik.

"Ayuni, tadi di rumah sakit... dia bilang sembilan tusuk konde di foto itu bukan hiasan. Itu penanda kutukan abadi, sebuah kutukan yang nggak bisa dipatahkan." Hening sejenak, Ashana bisa mendengar Gea menelan ludah.

"Oke, oke, tenang, Shana. Jangan panik, kita harus mikir jernih,"

"Gimana aku bisa tenang?!" balas Ashana.

"Hilda mana? Aku butuh kalian berdua,"

"Bentar, gue conference call," Beberapa detik kemudian, suara Hilda yang lembut terdengar.

"Halo? Shana? Gea? Ada apa?" Gea dengan cepat menjelaskan apa yang baru saja Ashana katakan. Hilda hanya bisa terkesiap ngeri.

"Ya Tuhan... jadi ini beneran kutukan turun-temurun?"

Lihat selengkapnya