Getaran dingin merambat dari nisan itu, menjalar melalui telapak tangan Ashana hingga ke tulang punggungnya. Tusuk konde perak itu tergeletak di sana, berkilau pucat di bawah cahaya bulan yang sakit, sebuah artefak mustahil di atas makam seorang pria yang telah lama mati.
"Ini... ini nggak mungkin," bisik Hilda, suaranya tercekat. Ia mundur selangkah, tangannya menutup mulut, matanya membelalak ngeri.
"Ini tusuk konde yang sama, kan, Shana? Kayak yang di foto itu?"
"Sama," sahut Ashana, suaranya datar dan kosong. Ia tidak merasakan takut lagi. Yang ada hanya kemarahan dingin yang membekukan.
"Sama persis,"
"Kita harus pergi dari sini sekarang juga," desis Hilda, menarik lengan Ashana dengan panik.
"Ini tempat terkutuk, dia ninggalin jejaknya buat kita!"
Ashana tidak bergerak, matanya terpaku pada benda kecil itu yaitu sebuah pesan dan sebuah ejekan.
"Dia nggak ninggalin ini buat kita, Hil," katanya pelan.
"Dia mengambil ini,"
"Maksud lo?"
"Orang ini," Ashana menepuk nisan di bawahnya.
"Kyai Jatmiko yang asli, arwah itu... dia pasti ada hubungannya sama tempat ini, dia ngambil sesuatu," Tanpa berpikir panjang, ia meraih tusuk konde itu. Permukaan logamnya terasa sedingin es, membakar kulitnya. Ia memasukkannya ke dalam saku jinsnya.
"Shana, lo gila?!" pekik Hilda tertahan.
"Ngapain lo ambil benda itu?!"
"Ini bukti," jawab Ashana tegas, berbalik menghadap sahabatnya. Matanya menyala dalam kegelapan.
"Ayo, kita kembali ke rumah Nenekku."
"Apa? Lo mau balik lagi ke sana malam-malam gini?" tanya Hilda tak percaya.
"Bukan besok atau lusa, tapi sekarang." Nada suara Ashana tidak menerima bantahan. Ia berjalan cepat meninggalkan makam itu, meninggalkan Hilda yang tergopoh-gopoh mengikutinya dari belakang.
Perjalanan kembali terasa lebih cepat, dipicu oleh adrenalin dan amarah. Ashana tidak bicara sepatah kata pun, hanya mencengkeram setir mobil dengan begitu erat hingga buku-buku jarinya memutih.
Mereka tiba kembali di rumah joglo yang sunyi itu. Lampu teras masih menyala, tetapi seluruh rumah tampak gelap dan tertidur.
"Terus gimana? Kita gedor-gedor pintunya?" bisik Hilda cemas saat Ashana mematikan mesin.
"Nggak perlu," kata Ashana. Ia turun dari mobil, berjalan lurus ke arah pintu utama, dan mendorongnya. Pintu kayu jati yang berat itu terbuka dengan derit pelan dan tidak dikunci, Hilda pun sedikit terkejut.
"Dia... dia nggak ngunci pintu?"
"Dia tahu aku akan kembali."