Jari Ravindra yang mengusap noda hijau di pipinya terasa seperti tamparan bagi Ashana. Dunianya yang sudah retak kini pecah berkeping-keping.
"Aneh banget," gumam Ravindra lagi, menatap ujung jarinya yang ternoda dengan bingung sebelum mengelapnya ke selimut.
"Mungkin dari cat di dinding atau apalah," Dia menguap lebar.
"Udah ah, mau lanjut tidur,"
"Rav, tunggu," kata Ashana, suaranya nyaris tak terdengar.
"Kenapa lagi, Sayang?" Ravindra menatapnya, matanya sudah setengah terpejam.
"Jangan bilang kamu mimpi buruk lagi, aku ngantuk banget, lho,"
"Bukan," jawab Ashana cepat, otaknya berputar liar mencari kebohongan.
"Aku... aku mau ke luar kota besok pagi. Ke tempat Gea, ada urusan mendadak," Ravindra mengerutkan kening, kini sedikit lebih sadar.
"Mendadak gimana? Bukannya besok pagi kamu ada jadwal ketemu klien?"
"Bisa diundur," sahut Ashana.
"Ini... ini penting banget, Rav. Soal... soal project bareng dia yang nggak bisa ditunda," Ravindra menatapnya lekat-lekat dalam keremangan.
"Kamu aneh banget beberapa hari ini, Shana. Beneran nggak ada apa-apa?"
"Nggak ada," dusta Ashana, hatinya terasa seperti diremas.
"Cuma stres, nanti aku telepon kamu dari sana."
_
Pagi pun tiba, perjalanan menyusuri jalan tol yang mulai ramai terasa seperti pelarian. Gea mengemudi dalam diam, rahangnya tegang, sementara Hilda duduk di kursi belakang bersama Ashana, sesekali mengusap punggungnya dengan gerakan menenangkan yang entah kenapa terasa dingin. Di dalam sebuah tas kain di pangkuan Ashana, terbungkus kain mori kecil, ada semua benda terkutuk yang berhasil mereka kumpulkan: gumpalan rambut dengan sembilan tusuk konde dari lemari, satu tusuk konde dari makam, dan foto usang wanita di sendang.
"Lo yakin ini jalannya, Ge?" tanya Hilda pelan, memecah keheningan.
"Kata tanteku iya," jawab Gea, matanya tak lepas dari GPS di ponselnya.
"Keluar tol, masuk jalan desa, terus ikutin aja. Katanya rumahnya gampang dicari, paling asri sendiri,"
"Asri atau angker?" gumam Hilda.
"Hil, jangan mulai," tegur Ashana, suaranya lelah.
"Maaf," bisik Hilda. "Aku cuma... takut."
Semakin jauh mereka meninggalkan kota, semakin lebat pepohonan di sisi jalan. Aspal yang mulus berganti dengan jalanan berbatu yang membuat mobil berguncang pelan. Udara yang tadinya panas dan penuh polusi kini berganti menjadi sejuk dan berbau tanah basah. Suara klakson digantikan oleh siulan burung dan derik serangga yang riuh.
Mereka akhirnya tiba di depan sebuah rumah joglo sederhana yang berdiri di tengah-tengah kebun yang rimbun dan terawat. Berbeda dari rumah dukun palsu yang lapuk, tempat ini terasa damai. Bunga-bunga berwarna-warni tumbuh subur di pot-pot tanah liat, dan aroma dupa cendana yang lembut menguar dari teras.
Seorang lelaki tua berambut putih tipis dan berbalut sarung batik duduk di kursi rotan di teras, seolah sudah menunggu kedatangan mereka. Matanya yang keriput namun jernih menatap lurus ke arah mobil.