Ruwatan Misteri

Nurul Adiyanti
Chapter #22

Penghianatan atau Kelalaian?

Kepanikan yang dingin dan tajam menusuk Ashana, lebih menakutkan daripada tatapan mata hantu. Tali janur kuning benda yang begitu sepele, yang sama sekali tidak ia ingat keberadaannya, kini menjadi kunci antara hidup dan matinya.

"Pasti... pasti ada di suatu tempat, Mbah," kata Ashana, suaranya bergetar.

"Mungkin terselip, aku akan coba cari lagi nanti," Gea menggeleng kuat, wajahnya pucat pasi.

"Cari di mana, Shana? Di tempat sampah?! Kata lo tim WO yang beresin semua!"

"Aku nggak tahu, Ge! Aku nggak ingat!" balas Ashana, frustrasi.

"Malam itu semuanya kacau! Aku cuma mau semua benda itu lenyap dari hadapanku!" kata Ashana dengan kalimat yang seakan sudah putus asa.

"Ssst," desis Mbah Wiryo, suaranya yang tenang memotong kepanikan mereka. Matanya yang jernih menatap lurus ke arah Ashana.

"Bukan kemarahan yang akan menemukan benda itu, Nduk, tapi ingatan,"

"Tapi aku benar-benar nggak ingat, Mbah!" isak Ashana putus asa.

"Kalau begitu coba ingat lagi siapa saja yang membantumu membereskan sisa ritual malam itu," kata Mbah Wiryo sabar.

"Selain dirimu sendiri,"

"Aku..." Ashana mencoba berpikir, kepalanya terasa seperti akan pecah.

"Aku nggak beresin sendiri karena terlalu syok waktu itu. Setelah aku ganti baju, aku langsung pulang, Yang beres-beres... tim dari WO,"

"Hanya mereka?" tanya Mbah Wiryo, alisnya yang putih terangkat sedikit. Hilda yang sejak tadi hanya diam sambil meremas tangannya, angkat bicara.

"Kita juga ada di sana, Shana, ingat, kan?" katanya pelan.

"Aku, Gea, Ayuni, Mita... kita semua datang buat nemenin kamu, buat mastiin kamu baik-baik aja setelahnya," balas Hilda.

"Iya, betul," sahut Gea cepat, matanya menatap Ashana tajam.

"Kita semua nunggu di ruang tamu rumah dukun palsu itu. Waktu lo keluar, kita yang bantuin lo masuk mobil, terus tim WO-nya yang masuk buat beres-beres, lo ingat, kan?"

"Ingat," bisik Ashana. Memorinya tentang malam itu kabur, terfragmentasi oleh teror.

"Benda itu tidak akan diambil oleh orang asing," ujar Mbah Wiryo, nadanya penuh keyakinan.

"Arwah itu tidak akan membiarkannya, dia akan 'menitipkan' jangkarnya pada orang yang paling dekat dengan wadahnya, yaitu orang yang energinya sudah familier."

Ketiga gadis itu membeku, ucapan Mbah Wiryo menggantung di udara tipis pedesaan, mengubah kecemasan menjadi racun kecurigaan yang dingin. Mereka saling berpandangan, wajah Gea yang tegang, juga wajah Hilda yang tampak ngeri, begitu pula dengan wajah Ashana yang dipenuhi kebingungan.

"Maksud Mbah..." Gea menelan ludah,

Lihat selengkapnya