Napas Ashana tersedak di tenggorokannya, berubah menjadi es. Wajah Hilda di dalam cermin itu begitu sempurna, bibirnya menyunggingkan senyum yang bukan miliknya, dan matanya… matanya yang biasanya hangat kini menatap lurus ke arahnya dengan kilat kemenangan yang dingin. Kebaya hijau itu membungkus tubuhnya dengan anggun, warnanya sama seperti lumut yang tumbuh di batu nisan.
"Shana?" Suara Gea yang serak menyentakkannya.
"Lo kenapa? Kok ngeliatin cermin kayak gitu?"
Dengan kedipan mata, ilusi itu pecah, pantulan Hilda yang mengenakan kebaya hijau lenyap, digantikan oleh dinding kamar hotel yang kusam dan kosong.
"Nggak," bisik Ashana, mundur dari ranjang hingga punggungnya menabrak dinding yang dingin.
"Tadi... tadi ada dia,"
"Dia siapa lagi?" tanya Gea panik, rambutnya yang setengah kering tergerai berantakan. Ia mengikuti arah pandang Ashana ke cermin.
"Nggak ada siapa-siapa, Shana. Cuma kita berdua,"
Pintu kamar mandi berderit terbuka, Hilda melangkah keluar dengan wajahnya yang segar dan bersih, rambutnya diikat handuk. Ia mengenakan piyama satin sederhana, bukan kebaya hijau.
"Lho? Ada apa ini?" tanyanya, matanya yang polos menatap bergantian antara Ashana yang gemetar dan Gea yang kebingungan.
"Kok kalian tegang banget?"
"Tadi di cermin," kata Ashana, suaranya bergetar. Jarinya menunjuk ke arah cermin dengan ragu.
"Aku lihat kamu pakai baju pengantin hijau itu," Wajah Hilda langsung pucat pasi.
"Apa?" Ia memegang dadanya, matanya membelalak ngeri.
"Jangan aneh-aneh, Shana! Aku di kamar mandi dari tadi! Gea kan lihat sendiri!"
"Iya, Shana, Hilda di dalem toilet kok," sahut Gea cepat, mencoba menenangkan.
"Lo pasti kecapekan banget, udah, ya? Kita tidur aja sekarang, besok pagi kita pikirin lagi soal tali janur itu,"
"Aku nggak capek! Aku lihat apa yang aku lihat!" sergah Ashana, frustrasi.
Ia menatap Hilda, mencari celah sekecil apa pun di topeng kepolosan itu. Tapi tidak ada, wajah itu sempurna, penuh ketakutan dan ada rasa simpati padanya di sana.
"Kita harus pergi dari sini,"
"Pergi ke mana?" tanya Hilda, mendekat seolah ingin menghibur.
"Udah malem banget, Shana, bahaya,"
"Aku nggak peduli," desis Ashana, menepis tangan Hilda yang hendak menyentuhnya. Ia menyambar kunci mobil dari atas nakas.
"Aku harus pergi sekarang,"
"Shana, tunggu!" cegah Gea.
"Mau ke mana lo? Ke Jakarta lagi? Atau mau balik ke Mbah Wiryo?"
"Ke rumah Nenek," jawab Ashana, nadanya final. Ia meraih tasnya, memasukkan ponsel dan dompetnya tanpa peduli.
"Dia yang memulai semua ini, dia yang harus mengakhirinya."