Gambar kekanak-kanakan di tangannya terasa lebih berat daripada nisan Kyai Jatmiko. Dua gadis kecil. Sepasang sahabat. Berbagi sebuah boneka pengantin. Pisau itu berputar di dalam perut Ashana, bukan lagi belati amarah, tetapi bilah es dari sebuah pengkhianatan yang akarnya jauh lebih dalam dari yang pernah ia bayangkan.
"Kenapa, Nek?" bisik Ashana, suaranya parau. Ia tidak lagi menatap Neneknya, matanya terpaku pada sketsa yang memudar itu. "Kenapa dia?"
Neneknya hanya bisa menggeleng di tengah isak tangisnya. "Nenek tidak tahu, Nduk. Sejak kecil... dia selalu iri pada semua yang kamu punya. Mainanmu, bajumu... Nenek pikir itu hanya iri hati anak-anak biasa,"
"Dan Ravindra?" tanya Ashana, nada suaranya kosong.
"Dia juga menganggap Ravindra hanya 'mainan' lain yang seharusnya jadi miliknya?"
Wanita tua itu tidak menjawab, hanya tangisnya yang semakin pilu. Cukup. Tidak ada lagi jawaban di sini. Hanya ada rasa sakit dan penyesalan yang tidak akan mengubah apa pun. Ashana meletakkan kembali gambar itu ke dalam kotak besi berkarat dengan gerakan lambat, seolah sedang meletakkan karangan bunga di atas sebuah makam. Makam persahabatannya. Ia menutupnya, suara debuman tutup besi itu terdengar final.
"Aku pulang, Nek." Katanya dengan tidak menoleh lagi. Ia berjalan keluar dari kamar ibunya yang pengap, melintasi ruang tengah yang beraroma tembakau, dan keluar ke udara fajar yang terasa begitu dingin di kulitnya.
***
Ia kembali ke apartemen yang terasa seperti rumah orang asing. Ravindra sudah tidak ada, hanya secarik kertas di atas meja makan.
'Meeting pagi di luar kota, Sayang. Maaf nggak pamit, Love you.' Sendirian, bagus, justru itu yang ia butuhkan.
Ia mencoba menelepon Gea, memberitahunya semua yang baru saja ia temukan. Tapi Gea terdengar sangat ketakutan, nyaris histeris, menyuruhnya untuk menunggu sampai besok, menyuruhnya untuk tidak melakukan apa-apa sendirian. Telepon itu mati dengan janji-janji kosong, Ashana melempar ponselnya ke sofa karena tidak ada yang bisa ia andalkan.
Waktu merayap lambat, siang berganti sore, dan bayangan senja mulai memanjang di lantai parket, tampak seperti jari-jari kurus yang merayap mendekat. Hari ini ialah tanggal merah di kalender digital di ponselnya seolah berkedip-kedip mengejek. Malam Jumat Kliwon.
Ashana mengunci semua pintu, menutup semua gorden, dan duduk di sofa ruang tamu, memeluk lututnya dengan erat. Jantungnya berdebar-debar seiring dengan detak jam dinding yang terdengar begitu keras di tengah keheningan yang mencekik. Ia tidak menyalakan lampu, lebih memilih duduk dalam keremangan yang familiar.
Tepat saat jarum jam menunjuk pukul sembilan malam, udara di dalam ruangan terasa menipis. Hawa dingin yang menusuk tiba-tiba merayap di kulitnya, Ia bisa melihat napasnya sendiri mengepul di udara.
Tik.
Sebuah suara pelan dari arah dapur. Ashana menoleh, matanya menyipit dalam kegelapan.
Geser.
Kali ini suara sebuah benda yang digeser di atas meja granit. "Siapa di sana?" tanyanya, suaranya gemetar.
Tidak ada jawaban.
"Ravindra, itu kamu?" panggilnya lagi, tahu betul itu adalah pertanyaan bodoh.
PRANG!
Sebuah gelas tiba-tiba terlempar dari rak piring, pecah berkeping-keping di lantai dapur. Ashana menjerit, dan melompat berdiri, jantungnya serasa akan meledak.