Ruwatan Misteri

Nurul Adiyanti
Chapter #26

Rencana Perpisahan

Gagang telepon itu terasa dingin dan mati, suara monoton 'tut-tut-tut' yang menggema di kamar terasa lebih menakutkan daripada semua jeritan sebelumnya. Ashana menurunkan ponselnya dengan gerakan kaku. Tekad yang dingin dan keras seperti pecahan es telah menggantikan ketakutannya yang lumpuh. Ia tidak akan menunggu lagi.

"Kita berangkat sekarang," katanya, suaranya keluar lebih kuat dari yang ia duga.

Ponselnya yang baru saja ia lempar ke sofa berdering lagi. Gea. Ia menyambarnya.

"Shana, lo gila?! Jangan nekat!" Suara Gea di seberang terdengar panik, bercampur isak tangis tertahan. "Jangan pergi sendirian! Tunggu kita!"

"Aku nggak akan pergi sendirian," jawab Ashana, nadanya datar. "Kalian berdua jemput aku sekarang. Bawa perlengkapan seadanya, baju ganti, senter, apa pun yang kalian pikir perlu,"

"Pergi ke mana, Shana?! Lo mau beneran ke sendang itu?!"

"Dia yang ngundang," balas Ashana dingin. "Aku akan datangi pestanya,"

"Tapi kita nggak tahu medannya! Kita nggak tahu apa yang nungguin di sana!"

"Kita akan cari tahu," potong Ashana, nadanya tidak menerima bantahan.

"Sekarang kalian ke sini, cepat."

Ia menutup telepon tanpa menunggu jawaban. Butuh beberapa saat bagi Gea dan Hilda untuk tiba. Saat pintu apartemennya terbuka, ia melihat wajah mereka yang pucat dan mata yang bengkak karena cemas. Gea langsung memeluknya erat.

"Lo gila," bisik Gea di bahunya. "Lo beneran mau mati?"

"Mungkin," sahut Ashana, melepaskan pelukan itu. "Tapi lebih baik mati melawan daripada mati pelan-pelan di sini."

Hilda menatapnya dengan tatapan penuh simpati palsu. "Shana, kita bisa pikirkan ini lagi besok pagi. Mungkin ada cara lain. Kita hubungi lagi Mbah Wiryo..."

"Mbah Wiryo nggak bisa apa-apa tanpa tali itu, Hil," kata Ashana tajam, matanya mengunci pandangan Hilda. "Dan seingatku, kamu bilang tali itu bagus buatannya, kan? Buat kenang-kenangan,"

Wajah Hilda membeku sesaat sebelum berubah menjadi ekspresi kaget yang dibuat-buat. "Apa maksudmu, Shana? Aku... aku nggak pernah bilang gitu,"

"Lupakan," desis Ashana, memalingkan wajah. Ia tidak punya tenaga untuk konfrontasi sekarang. "Kita berangkat dini hari. Masih ada beberapa jam, kita istirahat sebentar,"

"Gimana sama Ravindra?" tanya Gea pelan.

"Dia bakal pulang, kan? Lo mau bilang apa sama dia?"

"Aku akan urus itu." Ashana berjalan menuju kamarnya.

"Kalian tunggu di sini."

Di dalam kamar yang terasa seperti medan perang yang baru saja ditinggalkan, Ashana duduk di meja riasnya, Ia menarik secarik kertas surat dan sebuah pulpen. Tangannya gemetar saat ia mulai menulis, ukan surat untuk Ravindra, ini surat untuk dunia jika ia gagal.

'Jika kalian membaca ini, berarti aku tidak kembali.'

Lihat selengkapnya