Ruwatan Misteri

Nurul Adiyanti
Chapter #27

Keheningan di Sendang

Beku, jejak kaki basah yang terbuat dari lumpur hitam itu membekukan seisi ruangan. Udara yang tipis di antara mereka bertiga bergetar, menjadi saksi bisu dari anomali yang tercetak jelas di atas karpet krem yang mahal.

"Apa... itu?" bisik Gea, suaranya pecah. Jarinya yang gemetar menunjuk ke lantai, tak berani melangkah lebih dekat.

Ashana tidak menjawab, Ia hanya menatap jejak itu dengan tatapan kosong yang mengerikan. Lumpur dari dasar sendang. Ravindra tidak pernah ke sendang, tapi sesuatu yang menempel padanya... jelas pernah. Hilda mendekat perlahan, matanya menyipit seolah tidak percaya.

"Mungkin... mungkin cuma kotoran dari luar, Shana," katanya, suaranya terdengar goyah, sebuah upaya lemah untuk menanamkan logika pada pemandangan yang mustahil.

"Ravindra kan habis perjalanan jauh. Bisa aja keinjek sesuatu di rest area."

"Itu bukan kotoran biasa, Hil!" desis Gea, nadanya histeris tertahan.

"Lihat bentuknya! Itu telapak kaki telanjang! Dan basah!"

"Sudah," potong Ashana, suaranya dingin dan tajam, memotong kepanikan mereka.

"Kita nggak punya waktu untuk ini, ayo pergi!"

"Tapi, Shana..."

"Sekarang!" bentak Ashana, menyambar ranselnya. Ia tidak menoleh lagi ke jejak kaki itu. Menatapnya lebih lama terasa seperti menatap langsung ke dalam kuburannya sendiri.

Perjalanan itu adalah penyiksaan sunyi yang panjang. Gea mengemudi dalam keheningan yang tegang, kedua tangannya mencengkeram setir begitu erat seolah takut mobil itu akan melayang. Hilda duduk di kursi belakang, sesekali terdengar isak tangisnya yang tertahan. Ashana hanya menatap lurus ke depan, ke jalanan desa yang gelap dan berkelok, matanya menyala dengan tekad yang dingin.

Mereka tiba saat langit masih berwarna nila pekat, sesaat sebelum fajar menyingsing. Sendang Wening, namanya terdengar begitu damai, tetapi tempatnya sendiri adalah mimpi buruk yang terwujud. Sebuah cekungan air yang gelap dan tenang, dikelilingi oleh pohon-pohon beringin raksasa yang akarnya menjuntai ke bawah seperti jari-jari keriput. Udara di sana begitu dingin hingga menusuk tulang, membawa serta aroma tanah basah, lumut, dan sesuatu yang lain. Sesuatu yang amis dan membusuk.

"Jadi ini tempatnya," bisik Gea, mematikan mesin mobil. Suaranya terdengar begitu kecil di tengah keheningan yang pekat.

"Rasanya... kayak ada yang ngawasin,"

"Karena memang ada," sahut Ashana tenang, memang seperti sudah terbiasa dengan suasana seperti itu, Ia pun membuka pintu mobil.

"Ayo turun, kita lakukan apa yang Mbah Wiryo suruh," kata Ashana.

"Yang bagian mana?" tanya Hilda, suaranya gemetar saat ia keluar dari mobil, merapatkan jaketnya. "Bagian doa atau bagian pakai kain mori?"

Lihat selengkapnya