Gumpalan kotor dan basah itu tergeletak di telapak tangan Hilda, menjuntaikan seutas tali kuning kusam yang berlumuran lumpur busuk. Hening di dalam mobil terasa begitu padat, begitu berat, seolah udara telah berubah menjadi kaca padat yang siap retak kapan saja.
"Itu," desis Gea, menjadi yang pertama memecah kebisuan. Suaranya serak dan tercekat. Ia menunjuk benda itu dari kursi pengemudi, wajahnya pucat pasi.
"Itu... tali yang hilang, kan?" Gea bertanya sembari menunjuk dan wajah yang panik.
Hilda menatap benda menjijikkan di tangannya seolah itu adalah ular berbisa, lalu cepat-cepat melemparkannya ke lantai mobil dengan pekikan tertahan.
"Aku nggak tahu! Sumpah, aku nggak tahu gimana benda ini bisa ada di tasku!" Hilda sendiri terkejut dan panik ketika melihat benda itu ada di tasnya. Nafasnya menjadi tak beraturan.
"Jangan bohong, Hil!" bentak Gea, berbalik di kursinya, matanya menyala karena campuran panik dan amarah.
"Kita semua denger Mbah Wiryo tadi! Dia bilang benda itu nggak mungkin hilang! Dia bilang jangkarnya ada di salah satu dari kita! Dan ternyata itu ada di tasmu? Kenapa kamu gak bilang dari awal sih Hil?" Gea mulai kesal.
"Tapi bukan aku!" isak Hilda, air matanya mulai menggenang. Ia menatap Ashana dengan tatapan memohon.
"Shana, kamu percaya sama aku, kan? Aku nggak mungkin ngelakuin ini! Buat apa aku nyimpen benda terkutuk kayak gini di tasku? Aku aja jijik banget ngelihatnya, apalagi nyentuh dan masukin di tas? Kenapa kalian jadi menyudutkanku begini sih?" Hilda masih membuat pembelaann dirinya sendiri.
Ashana tidak menjawab, Ia hanya menatap Hilda dengan sorot mata yang dingin dan kosong. Ia melihat lagi bayangan Hilda di dalam air, dengan senyum kemenangan yang mengerikan. Ia teringat sobekan kertas dari buku hariannya yang Hilda simpan bertahun-tahun.
'Dia mengambil apa yang seharusnya milikku.'
"Lo yang terakhir megang, Hil," kata Ashana, suaranya datar dan tanpa emosi.
"Malam itu, di rumah dukun itu... Aku bahkan melihat kamu masukin tali itu ke saku jaketmu dengan wajah yang sangat ceria, makannya kami mengira kamu telah menghianati persahabatan kita dan sempat gak percaya padamu," Wajah Hilda membeku, topeng kepolosannya retak seketika.
"Apa? Nggak! Kamu pasti salah lihat, Shana! Waktu itu kan kamu lagi linglung! Kamu ingat kan?" Balas Hilda yang seolah tak mau disalahkan sepihak.