Suara serak itu merayap keluar dari rerimbunan pohon, menggantung di udara dingin fajar seperti selubung pemakaman. Gea membeku, napasnya tersangkut di tenggorokan. Matanya yang membelalak melesat dari kegelapan pohon ke wajah Hilda yang sama sekali tidak menunjukkan ekspresi.
"Hilda!" pekik Gea, suaranya melengking ngeri.
"Lo denger suara itu, kan?!"
Hilda tidak menjawab, wajahnya yang tadinya dipenuhi tangis dan penyangkalan kini menjadi kanvas kosong. Matanya menatap lurus ke depan, melewati Ashana, melewati Gea, seolah melihat sesuatu di kejauhan yang tidak bisa mereka lihat.
"Apa... apa maksudnya 'tugas'?" bisik Gea, mundur selangkah hingga punggungnya menabrak pintu mobil yang dingin.
"Tugas apa, Hil?!"
Ashana meronta, mencoba melepaskan pergelangan tangannya dari lilitan janur yang terasa semakin kencang, semakin dingin.
"Bukan dia yang ngomong, Ge," desis Ashana, matanya tak lepas dari wajah Hilda yang seperti boneka.
"Dia... dia udah nggak ada di sana,"
"Lepasin tangan lo dari Shana!" jerit Gea, kepanikannya berubah menjadi amarah. Ia melompat ke arah Ashana, mencoba menarik simpul tali yang basah dan berlendir itu.
"Tali sialan ini! Gue harus lepasin!"
Ia menariknya dengan sekuat tenaga, tali itu tidak bergeming. Alih-alih melonggar, lilitannya justru semakin menancap ke kulit Ashana, membuatnya meringis kesakitan. Bau busuk lumpur kuburan menguar semakin pekat dari anyaman janur itu.
"Nggak bisa!" seru Gea, air matanya mulai mengalir karena frustrasi dan takut.
"Kuat banget! Kayak diiket pake kawat!"
Saat Gea sibuk berjuang dengan simpul terkutuk itu, Hilda mulai bergerak. Perlahan, dengan gerakan kaku yang tidak wajar, ia berbalik. Ia tidak lagi menatap ke dalam mobil, Ia menatap ke arah sendang. Ke air hitam yang tenang dan mematikan itu.