Cahaya putih itu menelannya bulat-bulat seperti melarutkannya ke dalam air. Sensasi dinginnya air, lumpur, dan ketakutan lenyap seketika, digantikan oleh ketiadaan yang memekakkan telinga. Ia tidak jatuh. Ia tidak tenggelam. Ia hanya... ada, melayang dalam kehampaan yang membutakan sebelum tubuhnya terhempas ke atas permukaan yang keras dan dingin dengan bunyi debuman yang anehnya tidak bersuara.
Ashana terbatuk, napasnya yang tercekat akhirnya kembali. Matanya yang terpejam erat perlahan terbuka, mengerjap menyesuaikan diri, bukan dengan kegelapan, tetapi dengan cahaya temaram yang aneh.
"Di mana ini?" bisiknya, suaranya serak.
Ia bangkit dengan gemetar, menopang tubuhnya di lantai yang terasa seperti porselen dingin. Ia mengenali tempat ini. Setiap detailnya terukir di dalam benaknya seperti luka bakar. Ranjang besar yang seharusnya berada di sisi kanan kini berada di kiri. Jendela raksasa yang seharusnya menghadap ke kerlip lampu kota kini menampilkan kegelapan total, kekosongan hitam tanpa satu pun bintang. Dan lukisan abstrak di dinding... warnanya terbalik, seperti klise foto, menciptakan pemandangan yang memuakkan dan salah. Ini adalah kamar pengantinnya. Kamar pengantinnya yang terbalik di dalam cermin.
"Selamat datang,"
Sebuah suara terdengar, lembut dan merdu seperti denting gamelan yang jauh, namun mengirimkan getaran dingin hingga ke tulang sumsum Ashana. Ia berbalik dengan cepat. Sosok itu berdiri di tengah ruangan, di samping ranjang yang salah letak. Ia tidak muncul dari bayangan. Ia hanya... ada di sana, seolah ia adalah pemilik sah tempat ini.
Dia cantik. Begitu cantik hingga menyakitkan. Bukan wajah hancur yang dilihat Gea dan Hilda. Wajahnya porselen yang mulus, matanya hitam legam seperti malam tanpa bulan, bibirnya pucat namun berbentuk sempurna. Kebaya hijau zamrud yang ia kenakan tampak baru dan mewah, setiap jahitan benang emasnya berkilauan redup. Dan sanggulnya... sanggul itu tertata rapi tanpa cela, sembilan tusuk konde perak menancap kokoh, berkilauan seperti mahkota es.
"Siapa kau?" tanya Ashana, mundur selangkah hingga punggungnya menabrak dinding yang terasa seperti balok es.
"Kau tahu siapa aku," jawab sosok itu, suaranya tenang.
"Aku adalah takdir yang kau curi,"
"Aku tidak mencuri apa pun darimu!" balas Ashana, suaranya sedikit meninggi, dipicu oleh campuran antara teror dan amarah.
"Aku bahkan tidak mengenalmu!"
Sosok itu tersenyum tipis, sebuah senyuman tanpa kehangatan.
"Oh, kau mengenalku, jiwamu mengenalku. Setiap malam, saat suamimu memeluk ragamu, sebagian dari dirimu menjeritkan namaku,"
"Hentikan omong kosong ini," desis Ashana.
"Di mana Hilda? Apa yang kau lakukan padanya?!"
"Gadis kecil yang iri hati itu?" Pengantin Hijau itu tertawa kecil, suara tawanya bening seperti kristal yang retak.
"Dia hanya kunci, kunci untuk membuka pintu yang seharusnya tidak pernah kau tutup. Dia sudah mendapatkan imbalannya,"
"Imbalan apa?"
"Kehampaan," jawab sosok itu datar.