Ruwatan Misteri

Nurul Adiyanti
Chapter #33

Tawar-Menawar Jiwa

"Nyawa suamimu akan aman, selamanya,"

Kata-kata itu menggantung di udara yang dingin dan mati, sebuah tawaran yang dibungkus racun manis. Menyerahkan bayangannya. Menyerahkan jiwanya, menjadi cangkang kosong demi keselamatan Ravindra.

"Tidak," jawab Ashana, suaranya keluar lebih kuat dari yang ia duga. Bukan pekikan, tapi desisan dingin yang menyaingi hawa di ruangan itu.

"Ravindra bukan milikku untuk diperdagangkan. Dan takdirku... bukan milikmu untuk kau rampas,"

Pengantin Hijau itu menatapnya, ekspresi tenangnya sedikit retak oleh rasa terkejut.

"Kau menolak?" tanyanya, nadanya seperti tidak percaya ada makhluk yang berani menentangnya.

"Kau lebih memilih melihat suamimu mati?"

"Aku lebih memilih melawanmu daripada menyerah padamu," balas Ashana. Ia menegakkan punggungnya, kakinya yang gemetar mulai menemukan sedikit kekuatan.

"Ini semua bukan tentang takdir. Ini tentang dendammu yang buta!" Senyum di wajah sempurna itu lenyap seketika, digantikan oleh topeng kemarahan sedingin es.

"Kau tidak tahu apa-apa tentang penderitaanku!" bentaknya, suaranya yang merdu kini berubah menjadi jeritan melengking yang menggema di seluruh ruangan terbalik itu, membuat dinding porselennya bergetar.

"Kau yang hidup nyaman! Kau yang mendapatkan semua yang seharusnya jadi milikku!"

"Aku tidak mendapatkan apa pun!" pekik Ashana.

"Kau yang mengambilnya! Kau mengambil malam pernikahanku! Kau mengambil kewarasanku! Kau mengambil teman-temanku!"

"MEREKA HANYA PION!" raung Pengantin Hijau, hawa dingin yang memancar darinya menjadi badai yang menusuk.

"Dan sekarang... aku akan mengambil jiwamu!"

Dengan gerakan secepat kilat, arwah itu melesat maju. Bukan dengan berlari, Ia hanya meluncur di atas lantai tanpa menggerakkan kakinya. Tangannya yang pucat terulur, bukan untuk mencekik Ashana, tetapi untuk menembus dadanya. Jari-jarinya tidak menyentuh kulit, melainkan melewati daging dan tulang seolah menembus kabut. Ashana merasakan sengatan dingin yang membakar di dalam dadanya, rasa sakit yang bukan fisik, melainkan rasa tercabik dari dalam.

"Argh!" Ashana terhuyung mundur, tangannya memegangi dada, mencoba mencabut sesuatu yang tak terlihat.

Ia menoleh panik ke arah cermin rias besar di dinding. Di sana, ia melihat pemandangan yang mengerikan. Tangan Pengantin Hijau di dunia nyata memang menembus tubuhnya, tetapi di dunia cermin, tangan itu mencengkeram bayangannya. Bayangan Ashana, sosok kelabu yang seharusnya meniru gerakannya, kini meronta-ronta kesakitan, ditarik paksa dari punggungnya oleh cengkeraman arwah itu.

"Apa yang kau lakukan?!" jerit Ashana, merasakan tarikan itu di dalam jiwanya, seolah pita elastis yang meregang hingga nyaris putus.

Lihat selengkapnya