Getaran itu merobeknya dari ketiadaan, menarik paksa jiwanya melalui lorong tak berujung yang dipenuhi pecahan cermin tajam. Ia tidak bisa berteriak. Rasanya seperti ditarik paksa melalui lubang jarum dengan kecepatan cahaya, setiap serpihan dunia yang terbalik itu menggores kesadarannya. Kegelapan, cahaya menyilaukan, lalu... dingin. Dingin yang basah dan nyata, menusuk hingga ke tulang, air, dan lumpur.
"ASHANA!"
Sebuah jeritan, suara yang begitu familier, pecah karena teror.
Ashana tersentak, terbatuk hebat saat air berlumpur menyembur dari mulutnya. Matanya terbuka, tapi yang ia lihat hanya langit fajar berwarna nila yang berputar-putar liar. Tubuhnya terasa berat dan lunglai, separuh terendam di air dangkal yang hitam pekat. Tangan-tangan panik mencengkeram bahunya, menariknya dengan kasar ke daratan yang becek.
"Bangun, Shana! Bangun! Ya Tuhan, bangun!"
Itu suara Gea, isak tangisnya terdengar begitu dekat, bercampur dengan deru napasnya yang tersengal. Ashana mencoba bangkit, tapi kakinya terasa seperti jeli. Ia hanya bisa terduduk di lumpur, menggigil hebat, menatap kosong ke arah sendang yang kini tampak begitu tenang, seolah tidak pernah terjadi apa-apa.
"Apa... apa yang terjadi?" bisik Ashana, suaranya serak.
"Lo... lo akhirnya balik juga," isak Gea, memeluknya erat, tidak peduli lumpur dan air kotor mengotori pakaian mereka. "Gue pikir... gue pikir lo udah ilang juga kayak Hilda! Gue udah mau gila, Shana!"
Ponsel Gea yang tergeletak di lumpur, layarnya retak, tiba-tiba mengeluarkan suara. Suara berat dan tenang dari Mbah Wiryo melalui panggilan yang masih tersambung.
"Anak itu sudah kembali?" tanya suara itu, nadanya datar tapi mendesak.
"Udah, Mbah! Udah!" seru Gea ke arah ponselnya.
"Dia di sini! Dia sadar! Tapi dia aneh, Mbah! Dia diem aja!"
"Jangan biarkan dia menatap air itu lagi," perintah Mbah Wiryo.
"Bawa dia menjauh dari sendang itu sekarang juga,"
Gea langsung menarik Ashana dengan sekuat tenaga.
"Ayo, Shana! Kita ke mobil!"
Tapi Ashana tidak bergerak. Matanya terpaku pada sesuatu yang Gea tidak lihat.
"Ge," bisiknya.
"Kok kamu... kabur?"
"Kabur gimana maksud lo?!" tanya Gea panik, menarik-narik lengan Ashana.
"Ayo berdiri!"
"Bayanganmu... kayak ada dua," gumam Ashana. Dunia di hadapannya terasa aneh, seperti menonton televisi dengan sinyal yang buruk. Ia melihat Gea, nyata dan solid, tapi di sekeliling tubuh sahabatnya itu ada aura tipis yang bergetar dan berdesir seperti pasir.
"Dinding di belakangmu... aku bisa lihat tembus,"
"Mbah! Dia ngomong aneh lagi!" jerit Gea ke telepon. "Dia bilang dia bisa lihat tembus aku!"
Hening sejenak di seberang, hanya ada suara kresek-kresek pelan.