Dingin, jari-jari itu kurus, dingin, dan bukan milik suaminya. Ashana membeku di dalam pelukan Ravindra, kehangatan dada pria itu terasa seperti kebohongan di hadapan sentuhan es yang merayap di punggungnya.
"Pergi," desisnya, bukan lagi pada arwah itu, tetapi pada suaminya sendiri.
Ia mendorong tubuh Ravindra dengan sekuat tenaga, dorongan itu begitu tiba-tiba dan penuh penolakan hingga Ravindra terhuyung mundur selangkah, pelukannya terlepas. Wajahnya yang tadinya penuh simpati kini berubah menjadi kebingungan yang terluka.
"Shana? Kamu kenapa?" tanyanya, suaranya parau.
"Jangan sentuh aku," kata Ashana, suaranya bergetar. Ia mundur hingga punggungnya menabrak dinding dingin kamar mandi, matanya membelalak ngeri menatap tangan suaminya, tangan yang hangat dan normal. Tidak ada lagi jari-jari kurus yang mengerikan, semua berubah dalam sekejap.
"Kenapa? Tadi kamu yang meluk aku erat banget," kata Ravindra, mendekat lagi dengan ragu.
"Aku cuma coba nenangin kamu,"
"Itu bukan kamu," bisik Ashana, lebih pada dirinya sendiri.
"Bukan aku gimana maksudnya? Jelas-jelas aku yang di sini!" Ravindra mulai frustrasi.
"Kadang kamu narik aku, kadang kamu dorong aku. Aku harus gimana, Shana? Aku bingung!"
"Aku juga bingung, Rav!" jerit Ashana, air matanya kembali mengalir.
"Aku capek, aku cuma mau semua ini berhenti. Berhenti dari teror dan kejadian-kejadian ini, aku bener-bener capek, Rav," Ravindra menghela napas panjang, mengusap wajahnya dengan kasar.
"Oke, aku ngerti, kamu lagi nggak stabil." Ia menatap istrinya dengan sorot mata yang dipenuhi kesedihan.
"Mandi, terus kita tidur. Besok pagi, kita nggak akan bahas ini lagi. Kita akan pura-pura semuanya normal."
"Semuanya nggak akan pernah normal lagi," sahut Ashana getir.
Dua hari kemudian, apartemen itu terasa seperti rumah duka yang steril. Gea duduk di seberang Ashana di meja makan, menatap layar laptop dengan mata merah karena kurang tidur. Di layar, wajah Mbah Wiryo yang berkerut dan tenang tampak sedikit terdistorsi oleh koneksi internet yang tidak stabil.
"Jadi, gerbangnya sudah berhasil ditutup, Mbah?" tanya Gea untuk ketiga kalinya, mencari kepastian.
"Maksudnya, arwah itu sudah nggak bisa masuk ke tubuh Shana lagi?" Lanjut Gea.
Dari pengeras suara laptop yang berdengung pelan, suara Mbah Wiryo terdengar berat.
"Betul, Nduk. Ikatan resmi dari ruwatan sesat itu sudah putus. Ibaratnya, pintu rumahnya sudah saya segel, dia tidak lagi punya kunci untuk masuk sembarangan,"
Gea menghela napas lega, bahunya yang tegang sedikit mengendur. Ia menoleh ke Ashana dengan seulas senyum lelah.
"Lo denger itu, Shana? Lo aman sekarang, jadi jangan khawatir lagi dengan apapun itu tentang hal mistis yang menimpamu, juga teror itu," Ashana tidak tersenyum, Ia menatap kosong ke cangkir teh di hadapannya yang sudah dingin.
"Tapi dia nggak pergi, Mbah," kata Ashana, suaranya datar. Dan seketika senyum Gea langsung lenyap.