Layar laptop itu menjadi hitam, memutus wajah tenang Mbah Wiryo dan meninggalkan Ashana sendirian di dalam gema kata-kata yang mengerikan. Penanda abadi yang dihancurkan.
Gea menutup laptop itu dengan bunyi *klik* yang kasar, memecah keheningan yang menyesakkan.
"Jadi... itu," katanya, suaranya parau.
"Jawaban dari semua ini ada di benda sialan itu."
Ashana tidak menjawab, Ia bangkit dari kursi meja makan dengan gerakan kaku seperti robot, berjalan menuju kamar tidurnya. Gea mengikutinya dari belakang, langkah kakinya terdengar ragu di lantai parket yang dingin.
"Lo mau ngapain, Shana?" tanya Gea cemas.
"Mengumpulkan barang bukti," jawab Ashana, suaranya datar, Ia membuka laci meja riasnya.
Di sana, terbungkus kain mori kecil yang kotor, gumpalan rambut hitam yang dingin dan tusuk konde dari makam itu tergeletak seperti sepasang ular yang sedang tidur. Ia mengambilnya, hawa dingin dari benda-benda itu langsung merayap di kulitnya. Ia meletakkannya di atas tempat tidur. Gea bergidik, menjaga jarak.
"Gue masih nggak ngerti kalau tusuk konde berjumlah sembilan ini harus dihancurin, berarti delapan sisanya ada di gumpalan rambut itu, kan? Terus yang satu lagi ini..." Ia menunjuk tusuk konde tunggal yang terpisah.
"Lo yakin ini dari set yang sama?"
Ashana mengambil tusuk konde tunggal itu, membandingkannya dengan yang menancap di gumpalan rambut. Ukiran sulur peraknya identik.
"Iya, Ge," katanya pelan.
"Warnanya, bentuknya... sama persis, aku yakin," Ia berhenti sejenak, sebuah kesadaran baru yang dingin menghantamnya.
"Tunggu dulu,"
"Kenapa lagi?" tanya Gea, nadanya sudah di ambang batas kepanikan.
"Gumpalan rambut ini... ini ditinggalin di lemari kamarku, kan?"
"Iya," sahut Gea.
"Waktu kita liat wujud aslinya pertama kali."
"Dan tusuk konde yang ini," lanjut Ashana, mengangkat benda dari makam itu.
"Ini aku temuin di atas nisan Kyai Jatmiko yang asli. Di desa. Jauh dari sini." Ia menatap Gea, matanya yang lelah kini menyala dengan sebuah pertanyaan yang mengerikan.
"Gimana caranya satu bagian dari set yang sama bisa ada di dua tempat yang berbeda?"
Gea membuka mulutnya, lalu menutupnya lagi. Ia tidak punya jawaban.
"Mungkin... mungkin dia sengaja misahin?"
"Atau ada yang misahin untuk dia," koreksi Ashana, matanya menyipit. Pikirannya berputar kembali, ke malam-malam penuh teror, ke percakapan-percakapan yang janggal, ke semua detail kecil yang tadinya ia abaikan.
"Ge, coba lo inget-inget lagi. Sejak awal... ada yang aneh, kan? Selain semua hal-hal gaib ini,"
"Semuanya aneh, Shana!" balas Gea frustrasi.
"Nggak ada satu hal pun yang normal dari kejadian ini!"
"Bukan, maksudku... dari kita," kata Ashana, menekankan kata terakhir.
"Ayuni jadi medium. Mita yang paling berani, jadi korban pertama. Aku... target utamanya dan Hilda..." Ia berhenti, nama itu terasa seperti duri di lidahnya. "Hilda kenapa?"
"Hilda ilang, Shana! Dia diculik!" isak Gea, rasa bersalah kembali menyelimuti wajahnya.