Ruwatan Misteri

Nurul Adiyanti
Chapter #39

Buku Harian Penuh Rahasia

Napas Ashana tercekat di tenggorokan, gema bisikan Ayuni yang lemah itu terasa lebih menusuk daripada jeritan arwah Pengantin Hijau.

"Pengantin yang iri," bisiknya, mengulang kata-kata itu.

"Apa maksudmu, Yun?"

"Udah, Shana," kata Gea pelan, tangannya yang gemetar menepuk punggung Ashana. Ia menoleh ke arah dokter yang baru saja selesai memasang kembali selang infus Ayuni.

"Dok, dia akan baik-baik saja, kan?"

"Kondisinya sudah jauh lebih tenang," jawab dokter itu, matanya masih memancarkan kebingungan profesional.

"Tidur adalah obat terbaik untuknya sekarang, sebaiknya Anda berdua juga istirahat,"

Ashana tidak mendengar ucapan dokter itu. Matanya masih terpaku pada wajah Ayuni yang kini terlelap, napasnya teratur dan tenang. 'Dia tidak bicara tentang Ravindra, dia bicara tentang dia.' Kalimat itu berputar-putar di kepalanya seperti kaset rusak. Siapa 'dia'? Pengantin yang lain?

"Ayo, Shana," ajak Gea lembut, menarik lengannya.

"Nggak ada gunanya kita di sini, Ayuni butuh istirahat, begitu pula dengan kita," Di koridor rumah sakit yang dingin dan sepi, Ashana berhenti melangkah.

"Kita nggak bisa pulang,"

"Maksud lo?" tanya Gea, wajahnya kusut karena lelah.

"Terus mau ke mana lagi? Gue udah nggak punya tenaga buat lari-lari lagi, Shana,"

"Rumahmu," kata Ashana tegas, menatap lurus ke mata Gea.

"Kita harus ke rumahmu sekarang."

"Rumah gue? Ngapain?"

"Tas Hilda," desis Ashana.

"Buku catatannya, tadi ibunya bilang isinya kosong kecuali buku itu." Gea mengerjap, otaknya yang lelah mencoba memproses.

"Terus? Lo pikir Hilda nulis sesuatu di sana? Soal hantu?"

"Bukan soal hantu, Ge," balas Ashana, sebuah keyakinan dingin mulai terbentuk di hatinya.

"Ayuni bilang... pengantin yang iri. Iri hati itu perasaan manusia, bukan perasaan arwah dari seabad yang lalu."

Mobil Gea melaju membelah malam Jakarta yang mulai lengang, lampu-lampu jalanan tampak seperti mata-mata kuning yang mengawasi dalam diam. Mereka tidak bicara selama perjalanan, masing-masing tenggelam dalam pikirannya sendiri. Ashana terus memutar ulang semua kejadian, setiap senyum manis Hilda, setiap pelukan simpatinya, setiap kalimatnya yang seolah-olah menenangkan. Semuanya kini terasa seperti kebohongan yang dilapisi madu. Apartemen Gea yang kecil terlihat begitu rapi.

Lihat selengkapnya