Ruwatan Misteri

Nurul Adiyanti
Chapter #40

Kotak Rahasia di Sendang

Sebuah keheningan yang pekat membekap seisi apartemen Gea, kalimat terakhir dari buku catatan Hilda tergantung di udara seperti jerat yang baru saja dipasang.

"Aku sudah menemukan cara untuk mengikatnya," ulang Gea, suaranya parau, seolah kata-kata itu meninggalkan rasa busuk di mulutnya.

"Mengikatnya," desis Ashana, tangannya yang dingin mencengkeram pinggiran meja makan. Ruangan itu tiba-tiba terasa miring.

"Dia bukan cuma menyabotase ruwatanku, Ge. Dia yang merancangnya dengan sangat mulus,"

"Dia pakai lo sebagai umpan," sahut Gea, matanya berkilat marah. Ia membanting buku catatan itu ke atas meja dengan bunyi debuman yang keras.

"Dia pakai kita semua! Mita, Ayuni... kita semua cuma pion di papan catur busuknya!"

"Tapi gimana caranya?" tanya Ashana, kepalanya berdenyut sakit.

"Gimana caranya orang biasa kayak Hilda bisa manggil arwah dari seabad yang lalu? Dia bukan dukun,"

"Dia nggak perlu jadi dukun," balas Gea tajam. Ia mulai berjalan mondar-mandir di ruang tamunya yang sempit.

"Dia cuma perlu tahu legendanya, Ayuni yang nemuin cerita itu, kan? Soal Sendang Wening," Jantung Ashana mencelos.

"Jangan-jangan..."

"Dia udah tahu legendanya jauh sebelum Ayuni nemuin," sambung Gea, menyelesaikan pikiran Ashana. Matanya menyipit, menghubungkan potongan-potongan puzzle yang mengerikan.

"Waktu itu dia moto-moto sampah sesaji dan ngambil tusuk konde sialan itu. Dia pasti udah riset dan udah tahu titik lemah lo apa, Shana,"

"Sendang itu," bisik Ashana.

"Legenda itu menyebutkan kalau si arwah terikat sama sendang itu,"

Gea berhenti mondar-mandir, menatap Ashana dengan sorot mata yang dipenuhi kengerian baru.

"Maksud lo... dia ke sana?"

"Dia pasti udah ke sana," jawab Ashana, sebuah keyakinan dingin menjalari pembuluh darahnya.

"Sebelum ruwatanku, dia melakukan sesuatu di sana, Ge. Sesuatu untuk 'mengundang' Pengantin Hijau itu dan membuka pintunya. Kemudian dia pake aku sebagai wadahnya,"

"Keterlaluan," umpat Gea, suaranya nyaris hilang. Ia menyandarkan punggungnya ke dinding, tampak lemas.

"Jadi... kepergiannya di sendang waktu itu..."

"Bukan kepergian," koreksi Ashana, bangkit dari kursinya.

"Itu adalah kepulangan, dia kembali ke sana untuk menyelesaikan apa yang udah dia mulai. Mungkin untuk menukar dirinya, atau apa pun,"

"Terus kita harus gimana?" tanya Gea putus asa.

"Kita udah nggak punya apa-apa lagi, bukti kita cuma tulisan di buku ini, yang isinya cuma kedengeran kayak curhatan cewek sakit hati,"

"Kita masih punya satu hal," kata Ashana, meraih kunci mobilnya dari atas meja.

"Kita masih punya tempat kejadian perkaranya,"

Lihat selengkapnya