Bau amis darah kering itu seolah menempel di rongga hidungnya, mengikuti mereka sepanjang perjalanan pulang seperti hantu tak kasatmata. Gea mengemudi dalam keheningan total, hanya suara deru ban di aspal malam yang mengisi kekosongan di antara mereka. Ashana menatap kosong ke luar jendela, lampu-lampu jalanan yang melesat lewat tampak seperti goresan-goresan luka di atas kanvas kegelapan.
Saat mobil akhirnya berhenti di depan lobi apartemennya yang mewah dan terang benderang, menara kaca itu terasa seperti penjara yang asing.
"Gue... gue nggak tahu harus ngomong apa, Shana," kata Gea pelan, suaranya parau.
"Nggak perlu," jawab Ashana, tangannya sudah di pegangan pintu.
"Kamu pulang, istirahat, dan kunci pintu apartemenmu,"
"Terus lo gimana? Lo bakal sendirian di atas?" tanya Gea, nadanya penuh ketakutan.
"Aku nggak pernah sendirian," sahut Ashana getir. Ia keluar dari mobil tanpa menoleh lagi dan berjalan lurus menuju lift, punggungnya terasa kaku dan berat, seolah ia sedang menyeret beban tak terlihat.
Lift naik dalam keheningan yang memekakkan. Saat pintu terbuka di lantainya, ia sudah bisa merasakannya. Udara di lorong itu terasa berat. Pintu unit apartemennya yang berwarna gading tampak seperti gerbang menuju neraka pribadinya. Saat ia memasukkan kartu kunci, sebuah suara dari dalam membuatnya membeku. Suara televisi, jantungnya berdebar kencang. Ravindra ada di dalam yang sedang menunggunya.
Ia mendorong pintu dengan pelan. Ruang tamu itu remang-remang, hanya diterangi oleh cahaya biru dari layar televisi yang menampilkan berita malam tanpa suara. Ravindra tidak duduk di sofa. Dia berdiri membelakanginya, di dekat jendela besar yang menghadap ke kerlip lampu kota, kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celana. Sosoknya tampak kaku dan tegang.
"Rav?" panggil Ashana pelan, suaranya serak. "Kamu belum tidur?"
Ravindra berbalik, wajahnya tidak menunjukkan kelegaan atau senyum selamat datang. Matanya yang biasanya hangat kini tampak dingin dan keras, diselimuti oleh kekecewaan yang begitu dalam. Dia tidak mengatakan apa-apa, hanya mengangkat satu tangannya. Di antara jari-jarinya, terjepit selembar kertas surat yang terlipat. Ashana terkejut, surat itu ialah surat perpisahan yang ia sembunyikan.
"Bisa kamu jelasin ini apa?" tanya Ravindra, suaranya tenang yang mengerikan.
"Urusan keluarga mendadak, Shana? Nenekmu sakit?"
"Rav, aku bisa jelasin," kata Ashana, melangkah masuk dan menutup pintu di belakangnya.
"Itu nggak seperti yang kamu pikirkan,"
"Oh, ya?" Ravindra tertawa, tawa yang kering dan tanpa humor.
"Terus apa yang harus aku pikirkan, Shana? Aku pulang ke rumah, nemuin istriku nggak ada, ponselnya nggak bisa dihubungin seharian, dan waktu aku coba cari bajunya di lemari, aku nemuin ini," Dia mengibaskan surat itu.
"'Jika kalian membaca ini, berarti aku tidak kembali'. Kalimat yang bagus untuk orang yang katanya cuma mau jenguk neneknya yang sakit, ya?"
"Aku... aku cuma..."
"Kamu mau pergi ninggalin aku, kan?" potong Ravindra, melangkah maju. Matanya menyala karena amarah yang terluka.
"Setelah semua yang kita lewati? Kamu lebih milih nulis surat pengecut kayak gini daripada ngomong langsung di depan mukaku?"
"Bukan begitu, Rav! Dengerin aku dulu!"
"Dengerin apa lagi?" bentaknya, suaranya kini meninggi.
"Kamu pikir aku bodoh? Kamu terus-terusan menghilang sama Gea, pergi ke desa nggak jelas, bohong soal nenekmu. Aku harus mikir apa, Shana? Kamu punya cowok lain di sana? Atau kamu gabung sama sekte sesat, hah!"