Ruwatan Misteri

Nurul Adiyanti
Chapter #42

Pukulan di Ruang Koma

Hanya sekejap kilat hijau zamrud itu menyala di mata Ashana yang terpantul di cermin, tapi itu cukup untuk membakar sisa-sisa harapan Ravindra menjadi abu. Pintu apartemen tertutup di belakangnya dengan bunyi *klik* yang pelan dan final, meninggalkan Ashana sendirian di dalam sangkar kemewahannya yang kini terasa sedingin mausoleum.

Udara di koridor rumah sakit terasa berat dan basi, campuran antara bau disinfektan yang tajam dan keputusasaan yang tak terucap. Setiap langkah di atas lantai linoleum yang mengilap terasa seperti menyeret beban seratus kilo. Gea berjalan di samping Ashana, genggaman tangannya di lengan sahabatnya terasa erat, mencoba menyalurkan sisa kekuatan yang ia sendiri hampir tidak punya.

"Lo yakin mau lihat dia sekarang, Shana?" tanya Gea pelan, suaranya parau.

"Keadaan lo... masih kacau banget. Ravindra jadi pergi?"

Ashana tidak menjawab, hanya mengangguk pelan. Pandangannya kosong, menatap lurus ke depan, ke pintu kaca buram bertuliskan 'Intensive Care Unit'. Ravindra pergi kemarin pagi. Dua puluh empat jam telah berlalu seperti dalam kabut demam. Ia tidak makan, tidak tidur, tapi hanya duduk, dan kini ia di sini.

"Satu hari penuh lo nggak ngomong apa-apa," lanjut Gea, nadanya penuh kecemasan.

"Gue takut lo kenapa-napa, makanya gue maksa ke sini. Mungkin lihat Mita bisa bikin lo... gue nggak tahu, merasa lebih baik?"

"Dia nggak akan pernah merasa lebih baik, Ge," sahut Ashana, suaranya terdengar seperti gesekan daun kering,

"Selama aku masih ada di dekatnya,"

"Jangan ngomong gitu," balas Gea tajam.

"Ini bukan salah lo,"

Seorang perawat mencegat mereka di depan pintu, memberitahu peraturan yang sama seperti hari-hari sebelumnya. Satu orang. Bergantian. Lima menit.

"Lo duluan," kata Gea.

"Gue tunggu di sini,"

Ashana menarik napas, udara steril itu terasa membakar paru-parunya. Ia mendorong pintu kaca yang berat dan melangkah masuk. Keheningan langsung menyergapnya, hanya dipecah oleh satu suara yang kini menghantui mimpinya. Bip... bip... bip... Suara mesin pemantau detak jantung Mita. Monoton. Tanpa henti.

Mita masih terbaring di sana, terbungkus perban dari leher hingga ujung kaki. Wajahnya adalah satu-satunya bagian yang sedikit terbuka, bengkak dan merah mengerikan, nyaris tak bisa dikenali. Selang-selang bening masuk ke hidung dan mulutnya, menghubungkannya dengan mesin-mesin yang membuatnya tetap hidup.

"Hai, Mit," bisik Ashana, menarik sebuah kursi plastik yang dingin dan duduk di samping ranjang.

"Aku datang lagi."

Bunyi *bip* dari mesin itu seolah menjawabnya.

"Maaf," lanjutnya, air matanya mulai menggenang.

"Maaf aku baru datang sekarang. Kemarin... kemarin hari yang berat." Ia tertawa kecil, tawa yang kering dan penuh luka.

"Ravindra pergi. Dia pikir aku gila. Mungkin dia benar."

Tetesan infus jatuh satu per satu dengan ritme yang lambat dan menyiksa. Ashana mengulurkan tangannya yang gemetar, menyentuh satu-satunya bagian yang tidak terbalut perban: beberapa senti kulit di dekat bahu sahabatnya. Kulit itu terasa panas, seperti demam.

Lihat selengkapnya