Ruwatan Misteri

Nurul Adiyanti
Chapter #43

Mengurai Dendam Kecil

Napas Gea tersengal, ditariknya dengan kasar seolah udara di koridor steril itu adalah asap beracun.

"Gue liat, Shana," bisiknya, suaranya pecah dan gemetar.

"Di permukaan logam itu. Gue liat apa yang Mita liat,"

Ashana tidak menjawab. Ia hanya menatap sahabatnya yang gemetar, matanya yang kosong seolah sudah tidak sanggup lagi memproses kengerian yang baru.

"Dia liat hantu itu, kan?" katanya, suaranya terdengar datar dan jauh.

"Di pantulan,"

"Iya," sahut Gea, menggeleng kuat-kuat.

"Mita nggak ngeliat kamu, Dia ngeliat hantu itu berdiri persis di tempat lo pakai kebaya hijau sambil senyum," Gea tidak sanggup melanjutkan. Ia menyandarkan kepalanya ke dinding yang dingin.

"Apa ini artinya? Dia... dia masih bisa ngendaliin orang lain?"

"Dia nggak ngendaliin Mita," balas Ashana pelan.

"Dia cuma nakut-nakutin dengan bikin Mita mikir aku itu dia," Ia tertawa, tawa yang kering dan tanpa humor.

"Dan berhasil,"

"Terus kita gimana?" tanya Gea, nadanya putus asa.

"Kita nggak bisa biarin Mita atau Ayuni sendirian,"

"Kita juga nggak bisa di sini terus," kata Ashana.

Tiba-tiba, matanya yang tadinya kusam kini menyala dengan secercah fokus yang dingin. Ia meraih lengan Gea.

"Ayuni, sebelum pingsan tadi... dia bilang sesuatu,"

"Dia bilang banyak hal aneh, Shana,"

"Bukan, yang terakhir," desak Ashana.

"Dia bilang kalau tidak bicara tentang Ravindra, tapi Dia bicara tentang si Pengantin yang iri,”

Gea mengerutkan keningnya, mencoba mengingat di tengah kepanikannya.

"Iya, gue inget, terus kenapa?"

"Pengantin Hijau itu arwah, Ge," jelas Ashana, suaranya terdengar begitu logis hingga menakutkan.

"Dia marah karena takdirnya dirampas, Dendamnya begitu dalam, tapi iri hati? Itu perasaan yang kecil dan dangkal,"

"Maksud lo..." Gea terkesiap, sebuah pemahaman baru yang mengerikan mulai terbentuk di wajahnya.

"Hilda," desis Ashana.

"Buku catatannya, kita balik ke apartemen lo sekarang. Pasti ada sesuatu di sana yang kita lewatin,”

Apartemen Gea yang tadinya terasa seperti tempat perlindungan kini terasa seperti ruang interogasi. Buku catatan bersampul kain pastel itu tergeletak di tengah meja makan, tampak seperti barang bukti di TKP.

"Oke," kata Gea, suaranya masih gemetar saat ia menuang air putih ke dalam dua gelas.

"Kita mulai dari mana? Kita udah baca bagian soal Ravindra, kan? Udah jelas dia iri setengah mati,"

Lihat selengkapnya